Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Dalam demografi ketenagakerjaan Indonesia, angkatan kerja perempuan memiliki peran yang signifikan, baik dalam kuantitas maupun kelenturan menghadapi dinamika perburuhan yang terus berubah.
Pada suatu masa, angkatan kerja perempuan juga pernah ditonjolkan sebagai keunggulan komparatif dengan menyodorkan stereotyping perempuan yang teliti, tekun, patuh, dan mau dibayar murah. Di dalam negeri, angkatan kerja perempuan kemudian mengisi industri garmen dan tekstil, sementara di luar negeri mereka menjadi pekerja rumah tangga migran. Semuanya juga ditonjolkan sebagai pekerja yang tak terorganisasi dan tidak pernah melawan.
Masa sudah berubah, tapi kerentanan yang dihadapi oleh pekerja perempuan malah terus bertambah. Berada dalam konstruksi masyarakat yang patriarkis, tantangan perempuan untuk menjadi pekerja yang setara dengan laki-laki tak pernah berhenti. Diskriminasi pengupahan, risiko mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, serta informalisasi sektor kerja perempuan terus terjadi sehingga menjauhkan mereka dari pemenuhan hak-hak pekerja dan jaminan perlindungan sosial pekerja secara universal.
Hak-hak spesifik perempuan yang berkaitan dengan hak reproduksinya, seperti haid, melahirkan, dan menyusui, dianggap masih menjadi beban ketimbang sebagai dukungan untuk tetap memastikan kesehatan dan produktivitas pekerja perempuan. Beberapa peraturan perundang-undangan mengenai perburuhan, misalnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, atau ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984, meski belum maksimal, masih bisa menjadi landasan hukum untuk menuntut kesetaraan dan perlindungan hak-hak pekerja perempuan, baik yang bekerja di dalam maupun luar negeri.
Alih-alih memaksimalkan regulasi untuk melindungi pekerja perempuan, dalam Program Legislasi Nasional 2020 setidaknya ada dua rancangan undang-undang yang makin membuat pekerja perempuan menjadi rentan, bahkan terancam kehilangan pengakuan.
Rancangan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja sama sekali abai pada realitas kebutuhan khusus pekerja perempuan, yaitu hak reproduksi. Tak ada sama sekali pengaturan dan jaminan hak cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti menyusui. Karena tidak ada pengakuan, penyediaan infrastruktur yang berkaitan dengan hal itu, seperti ruang istirahat, tempat menyusui, dan tempat penitipan anak, dipastikan terlewat.
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga bahkan secara mendasar akan menihilkan hak perempuan untuk mendapat kesetaraan dalam pekerjaan. Ideologi undang-undang ini ingin mendomestifikasi peran perempuan hanya untuk mengurus keluarga dan menghalangi perempuan memasuki ruang-ruang publik pekerjaan.
Pembacaan kritis terhadap draf rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dan naskah akademik yang diusulkan oleh lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat terkandung semangat konservatisme dan misoginis (memusuhi perempuan). Ini mencerminkan kemunduran cara berpikir mengenai relasi laki-laki dan perempuan serta posisi laki-laki dan perempuan dalam urusan privat dan publik.
Rancangan undang-undang ini juga dengan jelas menuding bahwa perempuan pekerja migran di luar negeri sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan fungsi pengasuhan, serta menyebabkan penelantaran anak dan keluarga. Perspektif yang bias gender ini memang kerap muncul dalam pemberitaan media massa, wacana akademik, bahkan di kalangan masyarakat tatkala membicarakan kondisi anak/keluarga yang ditinggalkan bermigrasi. Konstruksi patriarkis dan bias gender ini tidak pernah mempertanyakan mengapa laki-laki/suami tidak didorong menjalankan fungsi pengasuhan ketika istri/ibu sedang bekerja ke luar negeri.
Rancangan ini jelas tidak memahami realitas feminisasi migrasi yang menjadi wajah tenaga kerja migran. Dengan merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, penyusun rancangan itu sama sekali tidak mengikuti perkembangan mutakhir mengenai tata kelola migrasi tenaga kerja.
Dalam perspektif perlindungan pekerja migran, dengan landasan undang-undang di atas, sebenarnya sudah ada amanat bagi negara untuk memastikan keluarga pekerja migran juga menjadi cakupan perlindungan universal pekerja migran. Ini dilakukan, misalnya, melalui inisiatif Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) yang digagas Migrant CARE dan direplikasi oleh Kementerian Tenaga Kerja menjadi Desa Migran Produktif (Desmigratif). Prakarsa yang telah diterapkan di 400 desa di kantong-kantong pekerja migran ini juga telah memiliki pilar pengasuhan yang memberikan perhatian kepada anak-anak pekerja migran. Yang harus dipastikan dalam pilar ini adalah mendorong partisipasi laki-laki/suami dan komunitas dalam pengasuhan anak-anak yang ditinggalkan ibunya bekerja ke luar negeri.
Dalam laporan Human Development Index 2009 disebutkan bahwa pekerja migran memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan manusia di negara tujuan maupun negara asal. Ironisnya, negara hingga saat ini belum memberikan pengakuan yang signifikan pada kontribusi tersebut. Untuk memberikan pengakuan itu, harus ada desakan untuk menghentikan pembahasan rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga.
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1311724/jangan-musuhi-pekerja-perempuan/full&view=ok