Kasus Kekerasan Seksual Di Lingkungan Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah

40

Jakarta, Indikasi.id – Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki memecat para pegawai yang terlibat kasus kekerasan seksual di kementeriannya. Pemecatan terakhir dilakukan terhadap dua pegawai negeri sipil pada 28 November lalu.

Pada kesempatan yang sama, satu PNS lainnya dijatuhi sanksi turun jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun. Sementara seorang pegawai honorer diputus kontrak kerjanya. Keduanya diduga turut serta pada kasus tersebut.

Keputusan itu merupakan tindak lanjut penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dialami pegawai honorer Kemenkop UKM oleh tujuh rekannya di divisi yang sama, pada 5 Desember 2019. Tiga pegawai honorer lainnya telah di-PHK sejak awal.

Sanksi disiplin itu diambil setelah melalui proses koordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Komisi Aparatur Sipil Negara.

Pemecatan tersebut sejalan dengan salah satu rekomendasi Tim Independen Pencari Fakta, Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM. Tim ini dibentuk Teten pada 26 Oktober 2022.

Teten telah menyatakan komitmennya untuk menindak tegas seluruh pegawai yang terlibat kasus kekerasan seksual di lembaganya. Dia juga berjanji akan mengakomodasi seluruh tuntutan keluarga korban.

“Kami pada prinsipnya tidak mentolerir perilaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun di lingkungan kami,” kata Teten saat konferensi pers di kantornya, Senin (28/11).

Teten menyampaikan penyelesaian masalah ini bukan lagi urusan internal Kemenkop UKM, tapi ditangani Tim Independen.

Tim ini dipimpin Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jabar yang menjadi pendamping hukum korban. Anggotanya terdiri dari aktivis perempuan Ririn Sefsani, Nurherawati, dan melibatkan unsur Kemenkop UKM yang diwakili Staf Khusus Menkop UKM M. Riza Damanik, dan Kementerian PPPA.

Teten menjelaskan Tim Independen memiliki dua tugas utama yaitu mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh pegawai Kemenkop UKM.

Selain itu, Tim Independen juga memberikan evaluasi atas pemberian sanksi pegawai yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Majelis Kode Etik.

“Dari kasus ini kami akan jadikan Kementerian Koperasi sebagai pilot project pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, supaya Kementerian Koperasi punya pemahaman tentang kekerasan seksual secara baik” kata Teten.

Tugas lainnya yaitu merumuskan Prosedur Standar Operasional (SOP) internal penanganan tindak pidana seksual di Kemenkop UKM selama jangka waktu tiga bulan. “Kami ingin momentum ini dijadikan pembenahan internal,” kata Teten.

Salah satu yang disoroti oleh Tim Independen yakni lamanya penanganan kasus pemerkosaan tersebut. Padahal Kemenkop sudah membentuk Majelis Kode Etik (MKE) pada 2 April 2020, lima bulan setelah kejadian.

Anggota Tim Independen Ririn Sefsani menceritakan ketika MKE dibentuk, mereka justru tidak bekerja. Padahal, MKE dibentuk untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kemenkop.

Menurut Ririn, mereka semestinya menegakkan dan memberikan rekomendasi serta catatan kepada kementerian bagaimana kode etik harus dijalankan.

“Sayangnya melalui telusur dokumen dan juga bertanya kepada beberapa nama yang ada di dalam Majelis Kode Etik itu, mereka bahkan tidak tahu. Jadi, belum melakukan apapun,” ungkap Ririn.

Ia menduga MKE dibentuk hanya berdasarkan kebutuhan selembar kertas. Menurutnya, mereka tidak melakukan monitoring, evaluasi, rapat rutin, atau memberikan laporan ke atasan seperti ke sekretaris menteri dan menteri.

Majelis Kode Etik pun dibubarkan, lalu dibentuk lagi yang baru. Teten menyebut pembentukan MKE yang baru ini bersih dari relasi kekerabatan, sebagai tindak lanjut dari pembubaran MKE yang telah dibentuk sebelumnya.

Majelis Kode Etik yang baru dipimpin oleh Sekretaris Kementerian Koperasi UKM Arif Rahman Hakim. Anggotanya antara lain, Staf Khusus bidang Hukum Agus Santoso, Deputi Perkoperasian Ahmad Zabadi, Deputi Bidang Usaha Mikro Yulius, dan Inspektur Kemenkop UKM Heru Berdikariyanto.

Persoalan reformasi birokrasi juga ditemukan oleh Tim Independen. Unsur kekerabatan yang cukup tinggi di Kemenkop jadi sorotan. Pada kasus ini, baik pihak pelaku maupun korban memiliki jaringan kekerabatan di kementerian.

Selain melanggar Undang-Undang ASN, Ririn mengatakan unsur kekerabatan juga diduga menjadi salah satu penyebab pembiaran kasus kekerasan seksual di Kemenkop.

Melihat persoalan tersebut, Tim Independen meminta Teten menindaklanjuti persoalan kekerabatan dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk melakukan mapping dan analisis tata kelola sumber daya manusia di Kementerian/Lembaga dan mendorong merit system sepenuhnya.

“Hal sejalan sebagai upaya untuk melakukan reformasi birokrasi dengan memangkas faktor paternalisme yakni loyalitas pada pimpinan dan faktor kekerabatan yakni ikatan yang mendahulukan lingkungan terdekat,” demikian bunyi poin 7 rekomendasi Tim Independen.

Teten pun merespons dengan menyatakan akan melakukan pemetaan sekaligus analisis tata kelola sumber daya manusia sebagai upaya memperbaiki sistem organisasi secara menyeluruh.

Selain itu, dia juga bakal membentuk tim internal untuk menampung pengaduan korban kekerasan seksual di Kemenkop UKM.

PR besar birokrasi

Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan nepotisme dalam birokrasi pemerintah Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

“Saya kira nepotisme di dalam birokrasi pemerintah kita hari ini masih merupakan problem, PR (pekerjaan rumah) besar yang harus dicarikan solusi yang revolusioner dengan menerapkan uji kompetensi dan kemudian mengikis habis ketika terjadi nepotisme di dalam perekrutan,” ujar Gitadi.

Menurut Gitadi, upaya yang dapat dilakukan Teten kini adalah menggelar uji kompetensi terhadap para pegawai. Upaya tersebut dilakukan untuk pemetaan ulang di institusinya. Uji kompetensi itu idealnya dilaksanakan bukan oleh internal Kemenkop, melainkan oleh pihak independen yang kredibel.

“Menurut saya yang bisa dilakukan adalah uji kompetensi ulang terhadap jabatannya tapi tanpa melibatkan pihak institusi terutama menggunakan institusi independen yang kredibel,” katanya.

Ririn juga mengatakan birokrasi hari ini masih jauh antara harapan dan kenyataan. Birokrat yang melayani publik, bekerja profesional, efektif, efisien, pengembangan kapasitas yang baik, sistem rekrutmen yang transparan dan akuntabel.

“Ini hanya satu contoh di Kemenkop, dan mungkin praktik-praktik begitu juga ada di kementerian lain,” katanya. (Ind)

The post Kasus Kekerasan Seksual Di Lingkungan Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah first appeared on indikasi.id.