Oleh Bernard Simamora
Bencana datang lagi melanda negara kita. Api kembali dan lagi-lagi menggunduli hutan, yang menjadi salah satu kekayaan kita sebagai negara agraris. Tahun demi tahun terjadi dan terjadi lagi. Dan ketika bencana datang, saat itu pula kita kalang kabut mengatasinya. Lalu ditempuh langkah-langkah darurat untuk menanggulanginya. Biasa, rapat dulu!
Sebelum rapat, sebar undangan dulu setelah sebelumnya mendapat laporan, dan proses lapor melalui birokrasi yang panjang. Apa daya, sijago merah beraksi lebih cepat dari pada sijago manuver politik. Para pejabat yang berwenang justru sibuk menjelaskan langkah-langkah penanganan alih-alih memulai menangani. Sibuk talkshow, melayani pertanyaan, menanggapi protes dan diplomasi dari pada merumuskan langkah konkrit mengatasi yang sekarang, antisipasi, dan eliminasi bencara sejenis dimasa depan. Alhasil, jika kejadian yang sama terjadi lagi, ya begitu lagi! Yang namanya pengalaman menghadapi suatu masalah tidak berguna.
Pasalnya, kalau saja bencana itu baru pertama kali dihadapi, wajar penanganannya tidak belum begitu baik. Tapi, bagaimana bila kejadian sejenis rutin dialami setiap tahun, seperti demam berdarah, banjir, dan kebakaran hutan? Agaknya tupai lebih cerdas. Karena tupai tidak jatuh pada lompatan atau lobang yang sama.
Sekarang, kita dikagetkan lagi soal kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kabut asap melanda negara tetangga kita, terutama Malaysia. Tingkat ketebalan polusi udara di Malaysia karena asap kini mencapai 500 EMI (electromagnetic interference). Bisa dibayangkan, kekagetan negara tersebut atas asap kiriman dari Indonesia. Mereka tidak tahu menahu soal kebakaran hutan dan lahan, tahu-tahu justru memperoleh asap. Bahkan para kepala dinas kehutanan, menteri MS Kaban termasuk Presiden turut sebagai pihak yang kaget. Heran.
Seharusnya Indonesia (baca: pemerintah) disamping malu kepada diri sendiri, malu pada rakyat Indonesia, juga malu masalah ini menimbulkan kesulitan bagi negara tetangga. Tahun lalu, tatkala kabut asap melanda Malaysia dan Singapura mengakibatkan berbagai aktivitas terganggu, seperti mengacaukan aktivitas di bandara dan pelabuhan. Tak heran kalau warga di sana menjadi berang, karena kesehatan mereka terancam.
Sekarang, kejadian serupa kembali terulang, asap melanda Malaysia. Walaupun, kejadian ini belum seburuk tahun 1997 dan 1998 yang menyebabkan kerugian 9 miliar dollar AS akibat kerusakan pertanian serta terhentinya transportasi dan turisme, tetapi tetap saja sangat disesalkan. Seakan-akan tidak ada upaya pemerintah untuk mengantisipasinya. Atau pemerintah tidak mengerti masalah, jadi boro-boro mengantisipasi.
Lucu juga, bahwa sampai saat ini 3 x 24 jam pemerintah belum menyimpulkan, apakah kebakaran hutan akibat ulah manusia atau terjadi secara alamiah. Begitu lamban. Apakah data tahun sebelumnya tidak ada? Apakah peramalan akan terjadinya bencana tersebut untuk tahun ini tidak ada?
Seharusnya sudah jelas bahwa hal ini akibat ulah manusia tentu dalam kebakaran hutan. Dan untuk itu berarti penegakan hukum bagi para pembakar hutan belum berjalan secara efektif, karena mereka tetap melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun.
Penanggulangan bencana kebakaran hutan harus secepatnya dilakukan pemerintah agar kebakaran tidak semakin meluas, demikian pula hukum harus benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu. Ke depan, pemerintah sudah semestinya menerapkan langkah-langkah terencana dan terpadu, melibatkan berbagai instansi untuk mengantisipasi bahkan mengeliminir kejadian serupa.
Tentu kita tidak senang dituding sebagai bangsa yang tidak pernah serius mengatasi kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi, sehingga membuat aktivitas masyarakat terganggu dan selalu menuai protes negara tetangga. Kita juga tidak sudi ribuan hektar hutan terbakar setiap tahun.
Lebih jauh, siapa pun tidak senang dituding sebagai yang tidak pernah belajar dari pengalaman. Dari setiap bencana yang terjadi harus dipetik pelajaran berharga, agar sebisa mungkin ditiadakan, dicegah, diminimalisasi – dan bila terjadi juga, sudah dimiliki prosedur standar operasi tanggap sigap.
Kebakaran hutan yang kita alami sekarang bukan saja bahan pelajaran pencerdasan kita tentang kebakaran hutan, tetapi juga berbagai jenis bencana yang pernah melanda negara kita. Untuk kejadian (tidak selalu bencana) demam berdarah, flu burung, banjir, gempa, tsunami, longsor Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS), kecelakaan kereta api dan sebagainya, kita hendaknya memiliki prosedur standar operasi tanggap sigap yang teruji dan dikembangkan terus menerus.
Sehingga, dengan demikian, setiap komponen pemerintahan tidak bekerja secara serabutan ketika terjadi bencana. Presiden tidak perlu lagi mengeluarkan surat perintah penanggulangan bencana kebakaran hutan seperti saat ini. Sistem yang berjalan secara otomatis!
Tetapi bila pola penanganan kebakaran hutan serta bencana-bencana laindi masa depan masih seperti saat ini, maka betul adanya bahwa tupai lebih cerdas?!?! (Bernard)
15 Agustus 2005