Oleh Bernard Simamora

Kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak) tentu berdampak sangat buruk pada masyarakat luas. BBM sulit didapat maka harganya akan naik. Selanjutnya, ongkos-onngkos, dan harga-harga kebutuhan pokok segera akan naik juga – yang cenderung tidak turun ketika harga BBM kembali normal. Lebih parah, rumah tangga bisa kelaparan jika minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga tidak dapat diperoleh.

Kebanyakan rakyat masih menggunakan kompor minyak tanah untuk menanak nasi. Artinya, tidak ada minyak tanah bisa-bisa kelaparan.

Tetapi, pertanyaan dalam benak rakyat pada umumnya adalah : Kok bisa-bisanya BBM langka di salah satu negara produsen minyak seperti Indonesia yang juga anggota OPEC?

Pemerintah dengan “pemerintah (Pertamina)” berpolemik sesamanya di tengah penderitaan rakyat yang kekurangan BBM;

“Untuk mengantisipasi kelangkaan BBM yang semakin luas, Pertamina meminta pemerintah segera mempercepat pencairan dana subsidi BBM. Permintaan ini disampaikan Pertamina dalam rapat kerja antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bersama DPR beberapa waktu lalu. Menurut Dirut Pertamina, kelangkaan BBM selama tiga pekan ini adalah rentetan akibat lambannya pencairan dana subsidi BBM oleh pemerintah ke Pertamina. Ia menambahkan, pencairan dana subsidi BBM bulan ini yang nilainya Rp 4,2 triliun terlambat dua hari dibayarkan pemerintah. Padahal, masih menurut Dirut Pertamina, untuk mencadangkan BBM diperlukan waktu dua pekan. Sementara stok BBM saat ini hanya mencukupi 17 hari ke depan. Untuk menormalkan cadangan BBM hingga 22 hari ke depan, Pertamina membutuhkan dana sekitar US$ 1,5 miliar “

Bagi Dirut Pertamina dan Menteri Keuangan, kelangkaan BBM adalah seputar masalah angka dan jadwal. Seputar pembayaran dana Subsidi, dan itu pun telambat hanya 2 hari yang terlambat dari pemerintah. Pertamina adalah perusahaan pemerintah. Apakah perusahaan sekaliber Pertamina tidak mempunyai Plan-B, Plan-C dan seterusnya sebagai antisipasi bila terjadi aral melintang seperti keterlambatan pembayaran Subsidi? Sederhananya, seperti apa sih Pertamina dikelola?

Mengapa pemerintah terlambat membayar? Memangnya ATM (Anjungan Tunai Mandiri) nya offline atau tutup? Memangnya mengelola keuangan negara hanya sesederhana itu? Bagaimana koordinasi di tingkat menteri (Menkeu, Meneg BUMN dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Dirut Pertamina ? Sepertinya hanya masalah prosedural saja, atau malah banyak tangan yang bermain di dalam pembayaran ke Pertamina. Untuk itu, sepantasnyalah kompetensi Menkeu Memeng BUMN, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Dirut Pertamina dikaji ulang.

Jangan sampai kekurangan sumber energi dan kelangkaan BBM digiring kepada pemahaman sempit yakni teknis belaka, yakni prosedural dan birokrasi. Bila memang kelangkaan BBM diakibatkan oleh menurunnya kemampuan dalam negeri dalam memproduksi minyak, mengapa pemerintah tidak mengakui saja. Rakyat jangan di-nina-bobo-kan seolah minyak masih banyak di perut bumi Indonesia pada hal sudah hampir habis. Para ahli menyakini bahwa pencairan dana subsidi BBM hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek.

Seharusnya pemerintah mengakui persoalan yang sebenarnya, sehingga semua pihak dapat diajak mencari dan menggunakan sumber energi alternatif yang saat ini baru 1 sampai 1,5 persen. Bukan sekedar ajakan menghemat penggunaan BBM yang baru-baru ini dilansir Wapres Jusuf Kalla.

Untuk menggunakan sumber energi alternatif tentu masih banyak tantangan yang akan dihadapi. Disini dibutuhkan kompetensi para menteri yang jauh lebih baik. Bila pada saat-saat ini para menteri masih menyumbangkan masalah kelangkaan BBM, bagaimana mungkin sanggup menyediakan sumber egergi alternatif? Bagaimana jika para menteri tersebut diganti saja (?). (Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum pelita Indonesia 28 Juni 2005)

(Bernard Simamora, pengamat sosial, tinggal di bandung e-mail : bernard@pelitanews.com)

1 KOMENTAR

Komentar ditutup.