Beranda Sosbud Kepemimpinan untuk Kemerdekaan

Kepemimpinan untuk Kemerdekaan

295

oleh Yudi Latif

Memasuki suasana peringatan kemerdekaan Indonesia, panorama ruang publik yang lazimnya didominasi warna merah putih seperti dikepung warna-warni panji partai. Pekik kemerdekaan ditelan gemuruh iklan para ”penjudi” yang bermimpi memimpin negeri di tengah pudarnya kepercayaan dan harapan rakyat.

Gambaran kontras antara ekshibisionisme pemimpin dan kelesuan rakyat tak selaras dengan semangat proklamasi. ”Semangat proklamasi,” kata Soekarno, ”adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan.”

Tugas pemimpin politik bukan mengobral khayal dengan memanipulasi kesan yang dapat mengecoh rakyat. Sebaliknya, tugas mereka adalah menghadirkan kenyataan dan sense of crisis, yang dalam istilah Soekarno, dapat ”mengaktivir kepada perbuatan”: mengaktivir bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan. Kalau hanya menyerukan perbuatan, te- tapi dalam kenyataan tak mampu mengaktivir rakyat kepada perbuatan, buat apa bermimpi menjadi pemimpin?

”Mengaktivir kepada perbuatan,” kata Soekarno, ”berarti harus mengaktivir lebih dahulu kepada wil”, yang dalam perikehidupan kebangsaan berarti mengaktivir kehendak kolektif.

Untuk membangkitkan kehendak kolektif, para pemimpin harus lebih dulu menyalakan spirit. Itulah trilogi yang didengungkan Soekarno sejak tahun 1932: nationale geest (spirit kebangsaan), nationale wil (kehendak kebangsaan), dan nationale daad (perbuatan kebangsaan).

Blok historis

Dalam pandangan Soekarno, besar kecilnya spirit-kehendak rakyat untuk berjuang ditentu- kan oleh tiga hal.

Pertama, menarik-tidaknya tujuan atau cita-cita politik yang diperjuangkan pemimpin. Kedua, rasa mampu di kalangan rakyat. Ketiga, tenaga yang tersedia di kalangan rakyat sendiri.

Maka, pemimpin harus cakap melukiskan daya tarik cita-cita politiknya, mampu membangkitkan kepercayaan rakyat pada kemampuan sendiri, dan sanggup menyusun tenaga rakyat demi tujuan politik. Membangkitkan semangat dan kemauan kolektif bangsa majemuk bukanlah perkara mudah. Pemimpin nasional harus mampu merangkum keragaman posisi, keragaman faktor penentu, dan keragaman aliansi.

Hal ini terbukti dalam trayek menuju kemerdekaan Indonesia. Ideologi dan kepemimpinan yang bersifat sektoral, baik itu bersifat etnisitas, keagamaan, maupun kelas sosial tak mampu melahirkan solidaritas nasional yang melahirkan kemerdekaan.

Kemerdekaan politik bangsa Indonesia bisa diwujudkan setelah terbangun kehendak kolektif untuk menyatukan beragam posisi, determinasi, dan aliansi ke dalam suatu blok historis.

Istilah terakhir dapat diartikan sebagai kompleks kehendak kolektif sebagai perwujudan kesatuan struktur dan suprastruktur serta pertautan berbagai ide dan nilai keragaman kekuatan historis. Konsepsi blok historis ini lahir dari pemahaman Antonio Gramsci bahwa momen politik dalam proses pembentukan kehendak kolektif itu melewati tiga fase.

Pertama, momen paling primitif yang disebut tahap ”korpo- ratif-ekonomis”. Pada tahap ini kehendak bersama hanya sebatas solidaritas dalam unit korporasi tertentu, belum menyangkut kategori lain meski dalam kelas (golongan) yang sama.

Kedua, tahap saat solidaritas mempertautkan semua kategori dari sebuah kelas (golongan) yang sama. Ketiga, ”fase yang sepenuhnya politik”, saat solidaritas mampu melampaui batas-batas korporasi dan kelas (golongan), menjangkau kepentingan dan kemauan kelompok-kelompok lain. Momen inilah yang menjelmakan blok historis.

Surplus politisi

Blok historis hanya bisa diwujudkan di bawah ”kepemimpinan moral-intelektual”. Moral dalam arti ini ialah nilai-nilai kolektif suprastruktural yang mengatasi basis material. Intelektual di sini berarti aktor yang relatif mampu mentransendenkan diri dari kepentingan korporatis maupun kelas (golongan).

Hal ini tidak berarti bahwa intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide kolektif. Yang terjadi, aneka kepentingan ideal intelektual (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, adakalanya mendahului, bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan praktis dan material mereka.

Dengan demikian, istilah intelektual di sini tidak terbatas pada intelektual tradisional (akademisi, ulama, pendeta), tetapi bisa juga tentara, pedagang, artis, dan profesi lain. Tentu dengan syarat, mereka mampu mengatasi kesempitan dan kepentingan profesi, kelas, atau golongannya. Sekali berambisi menjadi pemimpin nasional, mereka harus memiliki kemampuan menghadirkan blok historis, mengemban kehendak dan moral kolektif.

Anomali dalam politik Indonesia terjadi ketika partai dan pemimpin politik yang seharusnya berjuang menghadirkan ”momen ketiga” (fase politik) masih tertawan pada momen paling primitif (korporatif-ekonomis).

Karena proyek historisnya terhambat di fase ini, maka yang merajalela adalah politisi-pedagang, yang tunduk pada pemodal kuat. Akibatnya, jagat politik kita diwarnai surplus politisi dan defisit negarawan. Seperti kata Georges Pompidou, ”Negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Sedangkan politisi adalah negarawan yang menempatkan bangsa dalam pelayanan kepada dirinya.”

Dalam situasi demikian, sulit membayangkan pemimpin nasional yang mampu mengaktivir rakyat kepada perbuatan Di sinilah pentingnya menggali kembali api proklamasi. Api proklamasi adalah semangat juang, semangat persatuan, dan semangat membangun negeri.

”Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi,” kata Soekarno, ”kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”

Yudi Latif Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society