Oleh William Chang
Perbaikan negara tidak semudah membalik telapak tangan. AS, RRT, dan Jepang pun membutuhkan waktu lama untuk membangun negaranya (Kompas, 8/9/2008).  Akankah RI lebih adil, sejahtera, teratur, dan maju setelah berusia dua abad? Benarkah dimensi waktu menjadi faktor penentu perbaikan sosial sebuah bangsa atau manusialah yang menentukan kemajuan sebuah bangsa? Mengapa ketiga negara adidaya disitir Presiden SBY saat berbuka puasa dan tausyiah di Jalan Widya Chandra, Jakarta?
AS, sebuah melting pot, mewarisi jiwa nasionalisme yang tinggi sebagai ”polisi” dunia dan menghidupi etos kerja keras. Rupanya keuletan, ketekunan, dan mentalitas baja ala Konfusian orang Tiongkok telah menyejajarkan mereka dengan negara adidaya lain. Sementara itu, Jepang dengan semangat samurai berjuang melakukan yang terbaik untuk bangsa dan mengalahkan dunia. Kunci keberhasilan AS, RRT, dan Jepang ada pada kekuatan kemanusiaan dan kesatuan visi-misi sebuah bangsa.
Ketiga negara intens memerangi habitus destruktif yang melemahkan saraf reformasi bangsa (malas, santai, cepat puas diri, konsumtif, premanis, dan anarki). Hingga kini habitus buruk ini masih hidup di kalangan masyarakat. Ide klasik dari Tiongkok kuno tentang konformisme sosial-politik penting dipertimbangkan dalam merestorasi dan membangun bangsa kita.
Konformisme perilaku
Konformisme sosial versi Zhong Yong (Kitab Tengah Sempurna), misalnya, tampak dalam sikap perbaikan diri, semangat kasih, hormat, mencintai rakyat seperti anak-anak sendiri, dan menggunakan jasa para pakar (Zhong Yong XIX: 12). Sikap itu akan terwujud jika pemerintah dipimpin negarawan perkasa yang memiliki keteladanan sejati, kebajikan, kedudukan, dan waktu (Zhong Yong XXVIII).
Perwujudan keteraturan masyarakat umumnya mengacu moralitas, perilaku baik, dan keadilan hukum yang ikut menempa watak tiap warga masyarakat. Dalam keadaan sosial ini, anggota masyarakat mengadaptasi diri dengan perangkat norma umum yang telah membudaya. Konformisme ini setidaknya mengandung dua unsur penting, informasi dan norma yang akan ikut menuntun hidup serta perilaku manusia, sebab di dalam norma terkandung seperangkat nilai perenial humaniora (Matilde Callari Galli, Conformism, Universitas Bologna, 2003).
Hidup dan sepak terjang seorang pemimpin negara merupakan teladan bagi rakyat jelata. Justru itu, Zong Hong mengingatkan agar ”si lurus” ditempatkan di atas mereka yang hidup ”bengkok” agar bisa diluruskan (Lun Yi XII: 22:3). Penugasan orang disesuaikan kemampuannya (The right man in the right place) dan angkatlah orang-orang bijaksana (Lun Yi XIII: 2). Yang menjadi penyangga utama dunia adalah negara; dan penyangga utama negara adalah keluarga, sedangkan penyangga utama keluarga adalah diri sendiri.
Perlu konformisme figur etis
Di tengah kemelut multidimensi dan proses restorasi sosial-politik, konformisme figur etis yang committed berperan penting. Kehadiran figur ini akan mendukung perwujudan good governance yang bersih, transparan, dan profesional dalam penanganan kasus-kasus. Tanpa figur tepercaya (trustable), proses perbaikan sosial cenderung kehilangan arah. Kini rakyat mengharapkan figur tepercaya dalam kata, janji, dan perbuatan.
Kekuatan konformisme figur ini perlu menggandeng sinergi hukum, antara lain mencakup kebudayaan sadar hukum, substansi hukum dan penegak hukum. Kemitraan antara figur ini dan penegak keadilan akan turut menentukan perbaikan sosial (bdk. L Frietzman). De facto, segala bentuk kepentingan terselubung dan penegak hukum yang koruptif menghancurkan sistem keadilan dalam negara kita.
Bagaimanakah konformisme meluruskan si ”bengkok” di negara kita? Keberanian pemerintah SBY memerangi korupsi dan menggulung koruptor akan menjadi kampanye efektif. Aneka terobosan antikorupsi harus berani membersihkan rahim-rahim yang melahirkan para koruptor modern. Keberanian KPK membongkar dan mengusut jejaring koruptif seputar BLBI pantas diteladani KPK daerah.
Terlepas dari kritik dunia Barat atas prinsip konformisme yang dianggap memandulkan kreativitas dan pilihan bebas seseorang, dalam konteks kini rakyat masih membutuhkan kehadiran dan peran figur bersih, profesional, berani, dan dedikatif dalam membangun bangsa.
Beranikah SBY menanggalkan birokrasi koruptif (intransparansi publik) dan segera menjaring figur-figur konformis yang tulus memperbaiki negara dan sistem pemerintahan? Mungkin, adagium klasik Ubi ius, ibi remidium (Di mana ada hukum, di situ ada perbaikan) dapat menjadi langkah awal untuk bangkit dari keterpurukan nasional.
William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus
Sumber : kompas


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.