JAKARTA – Penyidikan korupsi PT Waskita Karya (WSKT) di Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan, adanya penggunaan uang supplay chain financing (SCF) untuk kebutuhan hedonisme dan ‘bagi-bagi’ di pemangku kebijakan tinggi di perusahaan konstruksi milik negara tersebut.

Kuntadi selaku Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung mengatakan, kerugian negara dari penyimpangan dana pinjaman perbankan di PT Waskita Karya sepanjang periode 2016-2020 dan 2023 berjalan mencapai hampir Rp 2 triliun.

Kuntadi menerangkan, SCF yang diajukan Waskita Karya kepada lembaga perbankan, peruntukan aslinya untuk pengerjaan proyek fisik nasional. Pengerjaan proyek tersebut, dilakukan bersama anak perusahaan PT Waskita Beton Precast (WSBP), dan menjadi salah-satu sumber pemasukan untung perusahaan induk.

Kuntadi mengatakan, dari hasil penyidikan terungkap, dalam pengajuan SCF itu, jajaran direksi Waskita Karya memanipulasi dengan menyorongkan proposal pembiayaan proyek pembangunan fiktif.

“Total pencairan SCF itu lebih dari Rp 1,9-an triliun,” ujar Kuntadi di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (4/5/2023).

Kuntadi melanjutkan, setelah pencairan dilakukan, uang dari pinjaman bank tersebut yang menjadi bancakan. Termasuk untuk dibagi-bagikan, dan sumber anggaran hura-hura para pejabat tinggi di perusahaan pelat merah itu.

“SCF itu peruntukannya untuk pembiayaan proyek. Dalam kasus ini SCF tidak digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang dilakukan Waskita. Tetapi justru setelah pencairan SCF itu, uangnya digunakan untuk kegiatan macam-macam. Untuk enterteint (hura-hura), untuk dibagi-bagi, keluar dari peruntukan SCF itu sendiri,” ujar Kuntadi.

SCF yang sudah dicairkan tersebut, menurut Kuntadi, memberikan bunga yang tinggi yang harus dilunasi oleh manajemen Waskita Karya kepada pihak perbankan selaku kreditur pemberi pembiayaan. Hal tersebut yang sampai hari ini mencekik keuangan Waskita Karya sebagai debitur.

Pun bunga yang tinggi dari pembiayaan SCF tersebut, kata Kuntadi, nyata menjadi kerugian negara. Sehingga kerugian yang diderita Waskita Karya berlarut-larut dan bertubi-tubi.

“Sekarang, siapa yang menanggung bunga itu? Artinya kerugiannya bukan seberapa besar kredit yang diambil, tetapi soal siapa yang menanggung bunga tinggi dari SCF itu. Menariknya kasus SCF ini, yang seharusnya SCF untuk pembiayaan proyek, tetapi tidak, dan digunakan untuk proyek fiktif, dan hal-hal yang lain,” ujar Kuntadi.

Sebagaimana diketahui, Jampidsus Kejagung sudah menetapkan lima tersangka terkait korupsi di Waskita Karya. Kamis (27/4/2023) pekan lalu, tim penyidikannya menetapkan Direktur Utama (Dirut) Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka yang kelima.

DES adalah pemimpin direksi lama Waskita Karya yang kembali memimpin perusahaan tersebut lewat RUPS Februari 2023.

Pada Jumat (28/5/2023) DES ditangkap, dan dijebloskan ke sel tahanan sementara. Kuntadi mengatakan peran tersangka DES, adalah otoritas tertinggi di Waskita Karya yang mengajukan SCF tersebut dengan menggunakan dokumen syarat pendukung pencairan palsu.

“Peran tersangka DES ini secara melawan hukum memerintahkan dan menyetujui pencairan dana SCF dengan menggunakan dokumen pendukung palsu, untuk digunakan sebagai pembayaran utang perusahaan yang diakibatkan oleh pencairan SCF untuk pembayaran proyek-proyek fiktif yang diajukan oleh tersangka (DES) sendiri,” ujar Ketut Sumedana selaku Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Sabtu (29/4/2023).

Adapun empat tersangka lainnya yang sudah menjadi tersangka berada dalam tahanan sejak Januari 2023. Mereka, di antaranya Direktur Operasional II PT Waskita Karya Bambang Rianto (BR), Direktur Keuangan Taufik Hendra Kurniawan (THK), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Haris Gunawan (HG), serta Komisaris Utama PT Pinnacale Optima Karya Nizam Mustafa (NM).

Artikel Korupsi PT Waskita digunakan untuk Hedonisme dan Dibagi-Bagi pertama kali tampil pada Majalah Hukum.