Beranda Budaya Batak Konsep Dasar Dalihan Na Tolu Dalam Budaya Batak (Toba)

Konsep Dasar Dalihan Na Tolu Dalam Budaya Batak (Toba)

27

Salah satu kekayaan budaya Indonesia yang patut dibanggakan adalah keberagaman adat dan budaya yang dimiliki oleh setiap suku bangsa. Salah satu suku bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang khas adalah suku Batak. Dalam budaya Batak terdapat konsep yang sangat penting dan menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat Batak, yaitu konsep Dalihan Na Tolu.

Batak adalah salah satu suku yang terkenal dari Sumatera Utara, khususnya di kawasan Danau Toba. Suku Batak memiliki filosofi hidup untuk membangun peradabannya, yakni Dalihan Na Tolu. Lantas apa itu Dalihan Na Tolu? Dalihan adalah tempat (tungku) bertemu. Sedangkan Na Tolu adalah yang tiga. Sehingga Dalihan Na Tolu dapat dimaknai tempat bertemunya tiga penopang.

Dalihan Na Tolu yang diterjemahkan sebagai “tungku yang tiga”, adalah konsep filosofis atau wawasan sosial-kultural masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:

  1. Somba marhulahula, yaitu sikap hormat kepada keluarga pihak pemberi istri atau keluarga besar Mertua dari Laki-Laki.
  2. Elek marboru, yaitu sikap mengayomi kepada kalangan putri/anak perempuan dari keluarga besar kita, dan kalangan yang menikahi putri anak perempuan keluarga besar kita.
  3. Manat mardongan tubu, yaitu sikap berhati-hati kepada saudara-saudara semarga dengan kita.

Dalihan Na Tolu memiliki arti “tungku yang berkaki tiga”, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau lima kaki, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.

Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.

Dalihan Na Tolu menjadi kerangka hubungan tripartit yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut ialah sebagai berikut.

  1. Somba marhulahula.

Ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun tafsiran ini krang tepat. Memang benar kata Somba, dapat diartikan menyembah, akan tetapi kata Somba di sini lebih tepat sebagai kata sifat, dan lebih tepat diartikan “hormat”. Itu sebabnya, Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.

Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri ompung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu

Dalam budaya Batak, hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri, yang berasal dari keluarga hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tentu tidak ada keturunan.

  1. Elek marboru.

Elek, dalam konteks ini diartikan sebagai rasa sayang, yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang menikahi anak perempuan dari pihak kita. Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dalam kehidupan tradisional batak dahulu, boru yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. Tanpa boru, mengadakan pesta adat tertentu tidak mungkin dilakukan.

  1. Manat mardongan tubu.

Ini berarti suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Orang tua-tua berkata, “hau na jonok do na boi marsiogoson,” yang berarti pohon yang yang berdekatan yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa kedekatanlah yang sering memungkin serinya interaksi terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.

Intinya, ajaran Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati disebut juga marsipasangapan, dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Na Tolu menjadi media yang memuat asas hukum yang objektif.

Konsep ini menjadi landasan dalam menjaga harmoni, kesatuan, dan keberlanjutan budaya Batak. Meskipun zaman terus berkembang, konsep Dalihan Na Tolu tetap relevan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak.

Ditulis Bernard Simamora, S,Si, S.IP, SH, MH, MM. dari berbagai sumber.