Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro meminta pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Rencana pemerintah menaikkan harga BBM harus ditinjau ulang. karena berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.

Ketua KTNA Bojonegoro, Syarif Usman, Selasa (20/5) kepada Kompas mengatakan bahan bakar minyak (BBM) bukan hanya kebutuhan orang kaya. Asumsi selama ini yang menganggap BBM hanya merupakan kebutuhan masyarakat menengah ke atas sangat keliru. BBM sudah menjadi kebutuhan semua lapisan masyarakat. Dampaknya sangat dirasakan bila harga BBM naik. “Petani menjerit dengan adanya larangan pembelian BBM dengan jeriken,” kata Syarif.

Rencana kenaikan harga BBM sangat dirasakan petani dalam mengelola, memroses maupun menjual panenan. Menurut Syarif mungkin pemerintah belum tahu kalau petani juga membutuhkan BBM dalam proses usahanya. “Sekali-kali turun ke bawahlah biar tahu bagaimana kondisi masyarakat tani di desa. Saat ini sudah banyak lahan petani mengalami kekeringan karena BBM tidak didapatkan. BBM itu digunakan untuk mesin pompa air yang selalu dipergunakan untuk mengairi sawah,” ujarnya.

Mesin pompa air sudah menjadi kebutuhan petani menjelang dan saat kemarau. Kalau tidak ada air akibat sulitnya mendapatkan BBM untuk mesin pompa air bisa berpotensi menimbulkan gagal panen. Petani pemilik mesin pompa air, traktor dan mesin giling (huller) bukan termasuk masyarakat tani berekonomi menengah ke atas.

“Mereka mayoritas petani kelas ekonomi bawah yang mendapatkan mesin dari pola kredit untuk kemudian disewakan pada petani lainnya. Sangat salah bila BBM dianggap hanya kebutuhan kalangan menengah ke atas,” katanya..

Kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) dari Rp 2.000 menjadi 2.259 per kilogram seharusnya merupakan upaya pemerintah menaikkan kesejahteraan petani. Upaya itu sia-sia jika BBM benar-benar dinaikan. Kebutuhan operasional produksi termasuk untuk pertanian juga naik lebih tinggi lagi termasuk kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak seimbang dengan kenaikan HPP yang ditetapkan. “Ujung-ujungnya petani semakin terjepit dari kondisi yang sudah mengimpit,” katanya.

Syarif berpendapat seharusnya pemerintah menyadari kunci keberhasilan bangsa ini terletak pada petani sebab lebih dari 75 persen penduduk petani. “Makmurnya petani makmurnya bangsa, jayanya petani jayanya bangsa,” ujarnya.

Syarif berharap pemerintah memberikan kecukupan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melalui sumber lain seperti meningkatkan kemampuan ekspor barang non migas. Selain itu perlu efisiensi biaya rutin, meningkatkan produktivitas pertanian ber kualitas ekspor serta meningkatkan produktivitas migas dengan mempermudah proses izin eksploitasi. “Ironis kan Indonesia anggota negara pengekspor minyak, kenyataannya malah impor dan masyarakatnya kesulitan BBM. Ibarat ayam mati di lumbung sendiri,” katanya.

Dia menegaskan sektor pertanian bisa semakin terpuruk dengan naiknya harga BBM. Proses pengolahan lahan, pengairan sampai penggilingan menggunakan solar. Pengolahan lahan petani memakai traktor, pengairan sawah banyak yang menggunakan mesin pompa air karena saluran irigasi teknis tidak ada di semua wilayah.

Mesin pompa penyedot air untuk mengairi sawah berhenti beroperasi karena sulit mendapatkan solar. Petani tidak bisa mengairi sawahnya, areal pertanian terancam kekeringan karena kebutuhan air tidak bisa ditunda. Hal itu setidaknya terjadi di Desa Sambongr jo Kecamatan Sumberejo dan Desa Jati Blimbing Kecamatan Dander. Di wilayah Kecamatan Trucuk hampir semua areal pertanian mengandalkan mesin pompa air.

KTNA Bojonegoro telah mengirim surat kepada Bupati dan kepolisian resor Bojonegoro agar ada kebijakan khusus terkait pembelian BBM. Itu untuk memberikan kemudahan kepada petani agar tetap bisa mengolah lahannya. Mesin pompa menjadi satu-satunya cara agar areal pertanian mendapatkan pasokan air memadai di sawah yang tidak punya irigasi teknis. “Pengairan tidak bisa maksimal karena BBM sulit didapat,” katanya.

HNSI Juga Tolak Harga BBM Naik

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Lamongan yang juga Wakil Ketua HNSI Jawa Timur, Anas Widjaya menyatakan HNSI menolak rencana kenaikan BBM per Juni mendatang. Belum naik saja nelayan sudah sulit melaut karena penghasilan yang didapat sering tidak sebanding dengan ongkos produksi.

Hal itu diperparah pembelian dengan jiriken ke Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) tidak dilayani. Menurut Anas sejak kenaikan BBM 2005 lalu nelayan sudah mencampur solar dengan minyak tanah untuk menekan biaya produksi. Agar tetap bisa melaut ada pula nelayan mencampur minyak tanah dengan oli gardan sebagai ganti bahan bakar solar.

Padahal campuran bahan bakar tersebut bisa merusak mesin perahu. Minyak tanah pun susah didapat karena ada konversi energi ke gas. “Kami ingin nelayan mendapatkan subsidi khusus untuk kegiatan melaut. Petani saja mendapat subsidi pupuk, kami ingin dapat subsidi solar,” katanya.

Anas menegaskan HNSI menolak rencana harga kenaikan BBM. Nelayan seluruh Lamongan akan memrotes kenaikan harga BBM. “Kami akan melakukan unjuk rasa besar-besaran pada 26 Mei mendatang. Nasib nelayan sudah terhimpit utang, masak akan dipersulit lagi dengan beban kenaikan BBM,” tuturnya.

sumber : Kompas