Beranda Politik Makna Sebuah Kebangkitan

Makna Sebuah Kebangkitan

227

oleh Mahathera Nyanasuryanadi

Pada saat rembulan bulat sempurna di bulan Waisak, dunia mengenang kembali tiga peristiwa bersejarah menyangkut kehidupan Buddha Gotama. Ketiga peristiwa itu adalah kelahiran, pencapaian Penerangan Sempurna, dan parinirwana (meninggal dunia).

Kata Buddha sendiri mengandung pengertian bangun, bangkit, atau sadar. Dan, Buddha bukan nama diri, melainkan gelar untuk orang yang telah mencapai pencerahan. Ketika merayakan Waisak, lebih dari sekadar peringatan historis, kita selalu memperbarui semangat untuk bangkit, tidak lengah, tidak terlena.

Merenungkan Buddha berarti sadar, mengerti dan peduli pada apa yang terjadi di dalam dan di luar diri kita. Seperti yang ditunjukkan oleh Pangeran Siddharta, yang walaupun dibesarkan di tengah kemewahan, ia menyadari bahwa semua makhluk, termasuk dirinya, merupakan sasaran dari penderitaan. Ketika melihat dan memikirkan kesedihan orang-orang lain, dukacita mereka menjadi miliknya. Ia menaruh peduli, karena itu bangkit untuk mencari jalan mengatasinya.

Tidak melarikan diri

Kalau bisa memilih, kebanyakan orang ingin sekali dilahirkan sebagai anak raja. Namun, Pangeran Siddharta justru meninggalkan keluarga, kekayaan, dan kekuasaan. Dengan menempuh kehidupan sebagai petapa, ia melepaskan ikatan keduniawian. Keliru jika menganggapnya melarikan diri dari permasalahan. Langkah yang diambilnya dapat dijelaskan dengan pernyataan berikut: ”Tidak mungkin seorang yang terperosok dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas dari lumpur yang dapat menolong orang lain” (M I, 45).

Manusia merupakan bagian integral dari keseluruhan masyarakat, bahkan alam semesta. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Mudah dimengerti kalau para biksu di Myanmar atau belakangan ini di Tibet terlibat aksi unjuk rasa. Sejarah berbagai dinasti di Tiongkok memperlihatkan keterlibatan para biksu dalam pergolakan kebangsaan dan perjuangan membela yang benar atau menegakkan keadilan. Wihara Shao Lin terkenal telah melahirkan banyak biksu pendekar. Mereka menunjukkan bahwa kasih sayang tanpa kekuatan berarti kelemahan. Sebaliknya, kekuatan tanpa kasih sayang berarti kezaliman. Namun, bagaimanapun ajaran Buddha menolak segala bentuk kekerasan.

Para pengikut Buddha berjuang menghadapi kekerasan dengan kekuatan spiritual. Mungkin ada yang berpikir bahwa biksu-biksu itu berusaha merebut kekuasaan, padahal mereka tidak tertarik dengan kekuasaan. Mereka berdoa, menulis sastra, demonstrasi, dan mogok makan. Yang paling ekstrem, terjadi dalam perang Vietnam, ada biksu-biksuni yang membakar diri sendiri untuk membangkitkan kesadaran dan belas kasih. Membakar diri adalah sebuah bentuk pengorbanan untuk menjadi pelita di kegelapan. Tindakan ini menggerakkan hati jutaan orang dan membangkitkan kekuatan cinta, dinilai lain dari bunuh diri yang didasari oleh kegelapan batin. Buddha sendiri menghindari praktik ekstrem, apakah itu menyiksa diri atau memanjakan diri. Ia mengajarkan jalan tengah.

Cara hidup

Jalan tengah dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan, terdiri atas pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan semadi benar. Semadi atau meditasi tak lain dari konsentrasi, memusatkan pikiran yang baik pada satu obyek. Semua orang tahu Siddharta mencapai kebuddhaan tatkala bermeditasi di bawah pohon bodhi. Seorang biksu, Ma-tzu, yang ingin menjadi Buddha pun sering menghabiskan waktu menyepi dengan duduk bermeditasi. Gurunya, Nan-ye, mengambil sebuah batu dan menggosok-gosoknya. Ma-tsu bertanya, apa gerangan tujuan perbuatan itu? Nan-ye menjawab bahwa ia ingin membuat batu tersebut menjadi cermin. Tentu saja Ma-tsu keheranan, bagaimana mungkin sebuah batu bisa digosok menjadi cermin?

Sang guru yang bijak menjelaskan, kalau batu digosok tidak bisa menjadi cermin, bagaimana pula duduk bermeditasi dapat menjadi Buddha? Seseorang berhasil menjadi Buddha bukan karena semata-mata duduk bermeditasi. Terbatas hanya duduk untuk menjadi Buddha sama dengan mengucilkan Buddha. Meditasi seharusnya adalah cara hidup yang menyeluruh, pada dasarnya bukan pengasingan dari kehidupan. Meditasi harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Meditasi yang benar tidak terpisahkan dari daya upaya benar dan perhatian benar. Ketiga faktor ini juga masih harus dilengkapi dengan faktor lain dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, membentuk satu jalan untuk mencapai pencerahan.

Seorang Buddha memiliki kesempurnaan kebajikan atau keutamaan yang disebut paramita. Selain melepaskan keduniawian, paramita itu adalah kemurahan hati atau pengorbanan, cinta kasih, keseimbangan batin, kesusilaan, kebijaksanaan, kesabaran, kejujuran, semangat, dan kebulatan tekad. Calon Buddha merealisasi semua paramita lewat keterlibatan yang mendalam dengan permasalahan kehidupan. Tidak mungkin tanpa berhubungan dengan sesama. Menjadi petapa yang mengasingkan diri, atau filsuf yang duduk di belakang meja itu mungkin mudah, tetapi pengetahuan dan pencapaian tidak punya arti banyak jika kita belum tahu bagaimana menyentuh dan disentuh hati orang lain.

Kebangkitan dan transformasi

Satu orang seperti Buddha telah mengubah dunia. Bagaimana dengan kita? Proses pencapaian kebuddhaan merupakan transformasi personal yang bangkit dan hidup berkesadaran. Kita percaya bahwa kebaikan dapat menular sehingga transformasi personal akan diikuti dengan transformasi sosial. Agar tercipta kondisi yang kondusif, peran personal memerlukan dukungan kekuatan struktural. Buddha pun membentuk Sanggha, suatu struktur monastik yang membuat setiap individu terlindung dalam komunitasnya.

Kebetulan Waisak tahun ini bertepatan dengan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional. Kita tahu tiada kebangkitan tanpa kesadaran. Kesadaran sebagai bangsa mengangkat harkat dan derajat bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Ketika kita terpuruk dalam multikrisis, reformasi pun bergulir. Namun, kelihatannya tidak terjadi transformasi personal yang mengubah mentalitas dan moralitas sehingga nasib rakyat belum berubah. Agama-agama yang memiliki komitmen kuat pada pemuliaan kemanusiaan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia seharusnya membangkitkan umatnya untuk bekerja sama mengambil peran dalam transformasi personal dan sosial.

Selamat hari Waisak 2552 BE. Semoga semua makhluk hidup bahagia.

Mahathera Nyanasuryanadi Ketua Umum Sangha Agung Indonesia; Pembina Majelis Buddhayana Indonesia

sumber : kompas