JAKARTA – Prof Mudzakkir selaku Pakar hukum pidana UII Yogyakarta mengatakan politik hukum negara sangat menentukan dalam menyelesaikan kontroversi masalah LGBT. Bila sikap politik hukum jelas, maka sikap pada soal LGBT dari para penegak hukumnya itu juga jelas.
‘’Misalnya sekarang marak kampanye LGBT seperti adanya pengibaran bendera di Monas sebagai bukti adanya kampanye. Maka bila kita ingin melarang kampanye LGBt-nya, maka perbuatan LGBT sendiri harus dilarang terlebih dahulu. Sebab, bila ingin melarang kampanye maka perbuatan asalnya harus terlebih dahulu dilarang,” ujar Mudzakir,Kamis (25/5/2023).
Dalam KUHP yang baru di sana soal LGBT diatur berbeda dengan KUHP lama, yakni tak lagi dibatasi umur. Ini karena LGBT dalam perspektif hukum itu sebagai bagian dari perilaku sexual manusia yang menyimpang. Maka hukum harus mencegah perbuatan apa dari pun perilaku manusia yang menyimpang. Tujuannya agar manusia tidak melakukannya.
“Jadi LGBT bukan kodrat seperti yang kini ramai dibicarakan akibat pernyataan elite politik. Maka setiap orang bisa mengendalikan diri dengan tidak mengerjakan perbuatan tersebut. Dan aturan hukum pun kemudian mengaturnya sehingga aparat hukum dapat bertindak. Sekali lagi, LGBT itu yangbukan kodrat, sebab yang kodrat itu seperti jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan,” ujarnya.
Sebagai contoh dalam soal kampanye LGBT itu, tegas Mudzakir dapat mengacu pada soal korupsi. Ketika perbuatannya korupsinya dilarang oleh hukum, maka mengkampanyekan perbuatan korupsi juga dilarang atau menjadi perbuatan pidana pula. Pihak yang melakukannya bisa dikenakan pidana.
‘’Kalau dalam hukum Islam soal LGBT dalam hukum Islam sendiri sudah jelas kok. Itu hal yang dilarang karena itu terkait perilaku manusia bukan kodrat,” tegas Mudzakkir.
Artikel Melarang Kampanye LGBT, Pakar Pidana : Tergantung Politik Hukum? pertama kali tampil pada Majalah Hukum.