Beranda Ragam Memuliakan Monumen Nasional

Memuliakan Monumen Nasional

212

Nirwono Joga

Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan

Sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya, Tugu Monumen Nasional (Monas) dan Lapangan Merdeka telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, 2007) serta terdaftar resmi dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya, kawasan Monas seharusnya dilindungi, dipelihara sesuai dengan keasliannya, dan tak dipergunakan untuk kegiatan yang mengubah kawasan. Cagar budaya adalah benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Keberadaan tugu dan lapangan Monas harus dipandang sebagai aset bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan tujuan awal, yakni mewujudkan citra Tugu Monas sebagai lambang perjuangan bangsa serta menjadi kebanggaan Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta. Itulah mengapa Presiden Sukarno memberi nama Monumen Nasional bukan, misalnya, Monumen Jakarta.

Dalam keputusan presiden itu, pembangunan kawasan Medan Merdeka di wilayah DKI Jakarta dibagi atas tiga zona. Pertama, zona Taman Medan Merdeka (dan Tugu Monas) yang dibatasi Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Timur, Jalan Medan Merdeka Selatan, dan Jalan Medan Merdeka Barat.

Kedua, zona penyangga, yang meliputi blok sepanjang Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Timur, Jalan Medan Merdeka Selatan, dan Jalan Medan Merdeka Barat. Di sini, antara lain, terdapat Istana Negara, Istana Wakil Presiden, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI Jakarta, kantor Kementerian Pariwisata, kantor Kementerian Pertahanan, kantor Kementerian Perhubungan, Radio Republik Indonesia, dan Museum Nasional.

Ketiga, zona pelindung, yang mencakup bagian utara, yakni Jalan H Juanda, Jalan Pos, dan Jalan Lapangan Banteng; bagian timur adalah Sungai Ciliwung; bagian selatan adalah Jalan Kebon Sirih; dan bagian barat adalah Jalan Abdul Muis.

Dalam mengembangkan dan memanfaatkan kawasan Monas, keberadaan Tugu Monas, Lapangan Monas, Istana Negara, Balai Kota, dan Museum Nasional terkait dengan pergerakan kemerdekaan serta membentuk karakter nasional. Melihat nilai penting banyaknya lambang negara yang bersejarah dan segi etika dari kawasan itu, maka kawasan Monas seharusnya tidak dijadikan arena balap Formula E. Hal ini dipertegas oleh Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta dan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional yang tidak merekomendasikan balapan Formula E digelar di kawasan Monas.

Rencana Dinas Bina Marga DKI untuk melapisi perkerasan cobblestone di dalam kawasan Monas dengan pasir yang dilapisi geotextile kemudian diaspal sebagai bagian dari lintasan sirkuit balapan Formula E justru menunjukkan ketidakpedulian pemerintah DKI terhadap benda cagar budaya kawasan Monas.

Nasi belum menjadi bubur. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995, komisi pengarah dapat segera mencabut surat izin dan membatalkan penyelenggaraan Formula E di kawasan Monas. Pemerintah pusat, melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, sempat menegaskan bahwa Monas sebagai cagar budaya tidak diperkenankan menjadi bagian dari lintasan pergelaran balap Formula E. Komisi pengarah dapat menawarkan beberapa lokasi yang berada di bawah kewenangan Kementerian Sekretariat Negara, yakni Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta Selatan, atau kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Di samping itu, jika salah satu tujuan penyelenggaraan Formula E adalah mempromosikan destinasi wisata di Jakarta, pemerintah DKI dapat menggunakan kawasan Ancol di Jakarta Utara, kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, bundaran dan jembatan Semanggi di Jakarta Selatan, atau Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur. Pulau-pulau hasil reklamasi di utara Jakarta juga potensial untuk dibangun sirkuit balapan Formula E.

Pemerintah DKI perlu memastikan bagaimana rencana rekayasa lalu lintas sebelum, selama, dan sesudah balapan sehingga aktivitas warga dijamin tidak akan terganggu. Selain itu, penggunaan angkutan massal menuju lokasi balapan, kantong parkir dekat stasiun/terminal/halte, serta akomodasi bagi penonton luar Jakarta dan sekitar perlu diperhatikan.

Pemerintah DKI perlu menjelaskan peta jalan dan rencana induk terkait dengan tahap peralihan angkutan umum dan kendaraan pribadi ke tenaga listrik, target pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik, dukungan produksi baterai lokal, serta upaya pengolahan sampah baterai dalam jumlah besar.

Pada akhirnya, membebaskan kawasan Monas dari balapan Formula E berarti kita telah memuliakan keberadaan kawasan Monas. Ke depan, pemerintah pusat dan pemerintah DKI harus merumuskan kembali pengembangan dan pemanfaatan kawasan Monas dengan semangat menghormati kawasan Monas sebagai cagar budaya nasional yang tak ternilai harganya.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1310235/memuliakan-monumen-nasional/full&view=ok

Nirwono Joga

Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan

Sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya, Tugu Monumen Nasional (Monas) dan Lapangan Merdeka telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, 2007) serta terdaftar resmi dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya, kawasan Monas seharusnya dilindungi, dipelihara sesuai dengan keasliannya, dan tak dipergunakan untuk kegiatan yang mengubah kawasan. Cagar budaya adalah benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Keberadaan tugu dan lapangan Monas harus dipandang sebagai aset bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan tujuan awal, yakni mewujudkan citra Tugu Monas sebagai lambang perjuangan bangsa serta menjadi kebanggaan Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta. Itulah mengapa Presiden Sukarno memberi nama Monumen Nasional bukan, misalnya, Monumen Jakarta.

Dalam keputusan presiden itu, pembangunan kawasan Medan Merdeka di wilayah DKI Jakarta dibagi atas tiga zona. Pertama, zona Taman Medan Merdeka (dan Tugu Monas) yang dibatasi Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Timur, Jalan Medan Merdeka Selatan, dan Jalan Medan Merdeka Barat.

Kedua, zona penyangga, yang meliputi blok sepanjang Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Timur, Jalan Medan Merdeka Selatan, dan Jalan Medan Merdeka Barat. Di sini, antara lain, terdapat Istana Negara, Istana Wakil Presiden, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI Jakarta, kantor Kementerian Pariwisata, kantor Kementerian Pertahanan, kantor Kementerian Perhubungan, Radio Republik Indonesia, dan Museum Nasional.

Ketiga, zona pelindung, yang mencakup bagian utara, yakni Jalan H Juanda, Jalan Pos, dan Jalan Lapangan Banteng; bagian timur adalah Sungai Ciliwung; bagian selatan adalah Jalan Kebon Sirih; dan bagian barat adalah Jalan Abdul Muis.

Dalam mengembangkan dan memanfaatkan kawasan Monas, keberadaan Tugu Monas, Lapangan Monas, Istana Negara, Balai Kota, dan Museum Nasional terkait dengan pergerakan kemerdekaan serta membentuk karakter nasional. Melihat nilai penting banyaknya lambang negara yang bersejarah dan segi etika dari kawasan itu, maka kawasan Monas seharusnya tidak dijadikan arena balap Formula E. Hal ini dipertegas oleh Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta dan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional yang tidak merekomendasikan balapan Formula E digelar di kawasan Monas.

Rencana Dinas Bina Marga DKI untuk melapisi perkerasan cobblestone di dalam kawasan Monas dengan pasir yang dilapisi geotextile kemudian diaspal sebagai bagian dari lintasan sirkuit balapan Formula E justru menunjukkan ketidakpedulian pemerintah DKI terhadap benda cagar budaya kawasan Monas.

Nasi belum menjadi bubur. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995, komisi pengarah dapat segera mencabut surat izin dan membatalkan penyelenggaraan Formula E di kawasan Monas. Pemerintah pusat, melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, sempat menegaskan bahwa Monas sebagai cagar budaya tidak diperkenankan menjadi bagian dari lintasan pergelaran balap Formula E. Komisi pengarah dapat menawarkan beberapa lokasi yang berada di bawah kewenangan Kementerian Sekretariat Negara, yakni Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta Selatan, atau kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Di samping itu, jika salah satu tujuan penyelenggaraan Formula E adalah mempromosikan destinasi wisata di Jakarta, pemerintah DKI dapat menggunakan kawasan Ancol di Jakarta Utara, kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, bundaran dan jembatan Semanggi di Jakarta Selatan, atau Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur. Pulau-pulau hasil reklamasi di utara Jakarta juga potensial untuk dibangun sirkuit balapan Formula E.

Pemerintah DKI perlu memastikan bagaimana rencana rekayasa lalu lintas sebelum, selama, dan sesudah balapan sehingga aktivitas warga dijamin tidak akan terganggu. Selain itu, penggunaan angkutan massal menuju lokasi balapan, kantong parkir dekat stasiun/terminal/halte, serta akomodasi bagi penonton luar Jakarta dan sekitar perlu diperhatikan.

Pemerintah DKI perlu menjelaskan peta jalan dan rencana induk terkait dengan tahap peralihan angkutan umum dan kendaraan pribadi ke tenaga listrik, target pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik, dukungan produksi baterai lokal, serta upaya pengolahan sampah baterai dalam jumlah besar.

Pada akhirnya, membebaskan kawasan Monas dari balapan Formula E berarti kita telah memuliakan keberadaan kawasan Monas. Ke depan, pemerintah pusat dan pemerintah DKI harus merumuskan kembali pengembangan dan pemanfaatan kawasan Monas dengan semangat menghormati kawasan Monas sebagai cagar budaya nasional yang tak ternilai harganya.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1310235/memuliakan-monumen-nasional/full&view=ok