Oleh Yonky Karman
”The criminal law has served better to punish the crimes of citizens than the crimes of government against citizens.” (Dennis F. Thompson, Political Ethics and Public Office, 66) Beberapa tahun terakhir korupsi diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa dan sejumlah koruptor dijerat hukum. Sebelumnya, korupsi sulit diberantas. Sistem hukum lama tak mampu menjerat pejabat publik yang ditengarai terlibat skandal keuangan.
Negara sulit menghukum pejabat, tetapi mudah menghukum rakyat. Padahal, yang dikorupsi adalah uang rakyat. Tiada efek jera bagi pejabat yang melihat uang negara sebagai obyek untuk dijarah. Pengeluaran negara dibuat jauh lebih besar daripada seharusnya. Penerimaan negara dibuat jauh lebih kecil daripada seharusnya. Politik anggaran penuh rekayasa.
Kehormatan institusi
Dalam rezim otoriter, hukum didesain lebih untuk rakyat daripada untuk penguasa. Hukum ditujukan kepada kasus pelanggaran warga dan tidak disiapkan untuk menghadapi kejahatan terstruktur yang melibatkan pejabat. Saat ada terobosan dalam peradilan dan pejabat menjadi tersangka korupsi, penegak hukum gamang. Kehormatan institusi bisa tercoreng. Maka, tersangka akhirnya bebas dengan dalih bukti tidak cukup. Uang negara gagal diselamatkan.
Ketika pemerintah mengatur mekanisme untuk menghukum diri sendiri (diwakili pejabat terkait), keadilan menjadi bias. Pemerintahan korup berkepentingan dengan sistem hukum yang lemah agar sesedikit mungkin pejabat terjerat hukum untuk menjaga kehormatan institusi. Semakin tinggi jabatan atau dekat lingkaran kekuasaan, semakin banyak alasan untuk melindunginya dari jerat hukum.
Kendati suatu kebijakan publik terbukti keliru, pejabat terkait tidak dikriminalkan. Kebijakan keliru dianggap produk kelembagaan, bukan produk individu. Pejabat bertindak sebagai otoritas publik dan lolos dari jerat hukum meski keuangan negara amat dirugikan. Daripada mengabdi untuk kehormatan institusi, pejabat korup berlindung di balik kehormatan itu dan melakukan kolusi lintas institusional.
Kendati selalu ada kemauan politik untuk menghukum pejabat yang salah, dalam praktiknya pemerintah cenderung defensif. Pejabat kerap berkelit jika dikatakan korupsi mewabah nyaris di semua institusi negara. Yang disalahkan selalu oknum. Tiap penyimpangan dikembalikan kepada kesalahan pribadi, kelemahan nurani yang bersangkutan. Padahal, yang terjadi adalah penyimpangan korps. Semangat koruptif korps. Nurani korps bermasalah.
Di kantor-kantor layanan administrasi publik, warga yang taat aturan terpaksa menunggu lama untuk dilayani dibandingkan mereka yang menggunakan jasa calo. Sudah biasa calo bebas masuk-keluar ruang petugas. Mustahil prosedur seperti itu hanya inisiatif satu dua petugas di loket tanpa dukungan korps. Itu sebabnya Rancangan Undang-Undang Layanan Publik mendesak untuk disahkan.
Perang melawan korupsi tidak cukup hanya dicanangkan, tetapi harus menular di level pejabat struktural. Administrasi layanan publik sarat pungutan liar. Inspeksi mendadak selalu diperlukan untuk menimbulkan efek jera, terutama bagi kepala kantor yang dengan sengaja membiarkan praktik koruptif merajalela. Indonesia belum belajar dari negeri tetangga yang dipercaya para investor dan menjadi kaya karena tertib administrasinya.
Negeri kaya sumber daya alam macam Indonesia tak kunjung kaya. Negara dirugikan oleh kleptokrasi. Oknum birokrasi dengan mudah melakukan pungutan ilegal. Yang tidak tunduk dipersulit. Rakyat kecil harus membayar segala macam layanan publik yang mestinya gratis atau murah. Tertib bernegara ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh tata kelola pemerintahan.
Darurat moralitas
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan eksekutif-legislatif-yudikatif menunjukkan lemahnya disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Pejabat lebih merasa berutang kepada (oligarki) partai, bukan kepada rakyat. Kepentingan asing pun bermain dalam proses legislasi yang akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyat. Pejabat terjebak hiruk-pikuk demokrasi yang tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat.
Pelayan publik mengabdi demi uang, bukan untuk kepentingan publik. Pengabdian mendua itu menghasilkan perilaku koruptif. Darurat moralitas publik. Solusinya bukan menjadikan negara sebagai polisi moral bagi warga, tetapi rakyat terus menekan birokrasi agar mentalitas koruptif terkikis. Jika perang melawan korupsi dilakukan dengan semangat jihad, niscaya Indonesia melesat maju meninggalkan banyak negeri lain sekawasan.
Rakyat sering terjebak dengan keberagamaan lahiriah pejabat. Padahal, substansi keberagamaan pejabat adalah integritas moralnya. Kesalehan publiknya. Kecintaannya kepada rakyat. Pengabdiannya tanpa pamrih. Berhadapan dengan jerat korporasi yang bersandar pada mekanisme pasar dan hukum-hukum impersonal, negara mestinya berperan sebagai regulator, tidak ikut-ikutan memakai bahasa pasar berhadapan dengan rakyat.
Harga jual gas kita kepada asing dalam kerangka kontrak bisnis jangka panjang masih lebih murah dibandingkan harga gas subsidi di dalam negeri. Namun, pemerintah membiarkan harga jual di dalam negeri berlaku sesuai mekanisme pasar. Rakyat kecil menjerit dengan harga gas yang cenderung naik dan pontang-panting menghadapi kelangkaan. Mudahnya pejabat kita mengingkari kontrak sosial dengan rakyat (baca: konstitusi).
Di negara demokrasi yang kuat penegakan hukumnya, (calon) pejabat mudah membuat pengakuan salah di depan publik. Meski dikenal sebagai negeri yang lemah penegakan hukumnya, jarang sekali pejabat kita mengaku salah. Makin tinggi posisi, makin sulit mengaku salah. Citra publik di atas moralitas publik. Kesenjangan antara moralitas individual dan moralitas publik.
Banyak yang tidak beres dengan penyelenggaraan negara, tetapi terlalu sedikit pejabat yang mengaku salah atau dikenai sanksi berat. Ketidakberesan ditutupi kebohongan publik. Ketidakberesan terus berlangsung karena ketidaktegasan atasan dan lemahnya kontrol dari atas. Reformasi birokrasi jalan di tempat. Krisis ekonomi berlanjut dan kini menggerogoti pranata sosial. Figur publik membanjir di tengah kelangkaan moralitas publik.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Sumber : Kompas
Tepat sekali! Dan itu lah yang terjadi saai ini, dimana produk hukum yang diharapkan mampu menghukum pejabat yang korup adalah produksi pejabat melalui korpsnya semisal Departemen Hukum, dan departemen lainnya yang mengajukannnya kepada Korps DPR yang juga korps para penjabat (anggota DPR Sebagai pejabat, diantaranya banyak mantan pejabat, anak pejabat, cucu pejabat, rekanan pejabat semasa menjabat) yang bagaimana pun memang, harus berupaya men-klon (Cloning) diri sendiri atau kroninya untuk jadi “untouchable” dengan mnyoapkan pasal-pasal per-UUan disertai sejumlah bolong, ambiguitas, kontradiksi, dan sebagainya, yang jika kelak digunakan mengadili pejabat yang korup – akan sangat bisa menyisakan kesimpulan TIDAK CUKUP BUKTI, dan sebagainta…
Ambil contoh UU 10/2008 tentang pemilu yang merupakan produk bersama pemerintah hasil pemilu 2004 bersama-sama DPR produk pemilu yang sama, dimana, baik di eksekutif maupun di legislatif ada partai yang dominan yang bagaimana pun memiliki kepentingan khusus untuk mempertahankan hegemoninya pada pemilu 2009. Orang-orang ini mendesain UU 10/2008 dengan kepentingan cocok dan pas dengan ciri dan tipikal partai serta simpatisan darimana ia berasal agar hasilnya nanti maksimal dan menguntungkan induk organisasinya.. Hanya, persoalannya, bagaimana unsur dari partai lain di parlemen dapat mengimbangi tarik menarik kepentingan tersebut agar untuk kemenangan rakyat…
Komentar ditutup.