Oleh Salahuddin Wahid

“Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang dikumandangkan duet SBY-JK dalam kampanye pilpres 2004. Semboyan itu berperan dalam membawa duet itu ke kursi kepresidenan. Pidato kenegaraan (15/8/2008) diakhiri dengan: ”Harus Bisa! Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental bisa, kita semua bisa dan Indonesia pasti bisa.”

Akan tetapi, ternyata pada 11 September 2008, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan: ”Tidak bisa menutup lumpur Lapindo”. Mengapa pemerintah mudah menyatakan tidak bisa menutup lumpur yang sudah dua tahun lebih menyengsarakan puluhan ribu warga Porong dan merugikan jutaan warga Jawa Timur? Apa yang terjadi hingga pemerintah menyerah dan terpaksa mengingkari semboyan ”Bersama Kita Bisa”?

Keputusan pemerintah untuk menyerah didasarkan informasi tenaga ahli, terutama ahli geologi, yang menyatakan, bencana lumpur Lapindo adalah akibat gempa bumi dan aliran lumpur tidak dapat dihentikan.

Padahal, ada pendapat bertentangan yang muncul dari tenaga ahli, khususnya ahli pengeboran (drilling engineer). Juga datang dari sejumlah ahli luar negeri, dari institusi terhormat dengan kredibilitas tinggi. Pemerintah seharusnya mengetahui adanya para ahli yang berpendapat berbeda, tetapi tidak pernah dimintai pendapat mereka.

Merasa tak mampu

Pemerintah tak bisa menutup lumpur karena memilih bersama para ahli yang tidak yakin bahwa aliran lumpur itu dapat dihentikan, merasa tidak mampu untuk dapat menutup atau mematikan sumber lumpur. Namun, jika bersama para insinyur pengeboran itu, pemerintah akan yakin sumur itu bisa dihentikan. Jadi, semboyan kampanye SBY-JK tahun 2004 perlu disesuaikan menjadi: ”Bersama (ahli pengeboran yang percaya diri) Kita Bisa (mematikan sumber lumpur)”.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah memilih bersama tenaga ahli yang tidak percaya bahwa sumber lumpur itu bisa ditutup? Mengapa pemerintah tidak memilih bersama tenaga ahli berpengalaman dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian untuk menutup sumber lumpur? Apakah pemerintah dirugikan jika memercayai kemampuan anak bangsa yang juga memiliki kepercayaan diri?

Pemerintah sama sekali tidak dirugikan, baik secara ekonomi maupun politik. Sesuai Perpres No 14/2007, pemerintah menanggung biaya penanggulangan dampak dan biaya hidup untuk korban yang tinggal di daerah di luar peta lampiran perpres itu.

Tahun 2007, biaya yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 700 miliar. Tahun 2008 bertambah, bisa di atas Rp 1 triliun. Juga tahun 2009 dan seterusnya, sedangkan biaya untuk menutup sumber lumpur diperkirakan sekitar 80 juta-120 juta dollar AS.

Memang belum pasti 100 persen sumber lumpur dapat ditutup. Tetapi, melihat pengalaman para insinyur pengeboran yang lebih dari 30 tahun dengan prestasi sejenis yang meyakinkan, peluang berhasil amat besar. Insinyur pengeboran yang lain, saat berpengalaman baru beberapa tahun, berani menyatakan, dia bisa menutup semburan gas yang luar biasa besar, yang semula akan ditutup Red Adair dari AS. Ahli lain, dengan kemampuannya, telah berhasil membuat perangkat lunak simulasi cara mematikan semburan dan telah diverifikasi oleh hasil perangkat lunak luar negeri.

Apakah mereka terlalu percaya diri dan mendahului keputusan Tuhan? Tidak! Mereka memiliki kepercayaan diri berkat pengalaman selama 30 tahun lebih didukung kemampuan yang dimiliki. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan berkemampuan yang merasa berutang pada bangsa dan ingin membayarnya dengan keahliannya. Mereka adalah anak bangsa yang bermartabat, yang percaya pada kemampuan dan pengalaman mereka.

Percaya diri

Jika sikap itu dianggap takabur, Bung Karno, Bung Hatta, serta para pendiri bangsa tentu akan kita anggap takabur saat mendirikan bangsa Indonesia. Bahwa kondisi negara kita amburadul, bukanlah karena rasa percaya diri para pendiri bangsa, tetapi karena sikap kebanyakan pemimpin bangsa kita yang tidak benar, termasuk sikap pesimistis dan tidak percaya diri saat mengatakan, kita tidak bisa menutup sumber lumpur Lapindo.

Mengapa pemerintah memilih bersama para ahli yang pesimistis, yang notabene tidak mempunyai banyak pengalaman lapangan, daripada bersama para ahli yang optimistis dan berpengalaman? Untuk apa Presiden berpidato berkali-kali memompakan optimisme jika pemerintah sendiri lebih percaya kepada tenaga ahli yang pesimistis? Hal itu jelas merupakan kerugian imaterial yang amat besar.

Bersama para ahli yang merasa tidak mampu, kurang pengalaman, kurang percaya diri, dan pesimistis kita tidak bisa menutup sumber lumpur itu. Bersama para ahli yang mampu, berpengalaman, percaya diri, dan optimistis, kita bisa menutup sumber lumpur. Lalu bersama siapa?

Uraian itu jelas menggambarkan bersama siapa seharusnya kita, yaitu bersama para ahli pengeboran yang berpengalaman, percaya diri, bemartabat, punya integritas dan niat baik. Jika dianggap belum jelas keterangannya dan karena itu pemerintah belum yakin, mereka bisa dipanggil untuk menjelaskan.

Jika perlu, dilakukan dialog dengan para ahli yang tidak yakin sumber lumpur dapat ditutup, yang dihadiri pihak ketiga, yaitu tenaga ahli, berpengalaman dari institusi luar negeri yang terhormat dengan kredibilitas tinggi.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Sumber : Kompas

1 KOMENTAR

  1. Pernyataan yang jujur dan polos bahkan lugu seperti ini pantas diangkat jempol. Itu berarti ngaku nggak mampu. Bangsa sebesar ini, dengan tenaga ahli ratusan tibu dengan sumber daya tidak terlalu terbatas, sebagai warga global, masa iya untuk masalah itu TIDAK SANGGUP! Itu artinya, rezim sekarang mempersilahkan rezim baru pada 2009 YANG MAMPU menyelesaikan masalah bangsa. Artinya goodbya SBY-JK. Saya yakin di belahan bumi ini ada yang sanggup menangani masalah lapindo dengan cara yang efisien dan efektif. It’s not impossible Mission. It must be Possible Mission. Serahkan pada saya, ha..ha…

Komentar ditutup.