Oleh BRE REDANA
Bagaimanakah generasi sekarang memaknai nasionalisme—sebuah makna kompleks, tapi baiklah di sini diartikan sebagai pengelompokan dan pembentukan formasi politik yang kemudian membawa perasaan satu sebagai bangsa. Ditambah dengan pertanyaan siapa yang dimaksud generasi sekarang, niscaya kita akan sampai pada problematik nasionalisme di zaman konsumsi.
Kalau yang kita maksud generasi atau anak-anak muda sekarang mereka yang berusia antara 20 sampai sekitar awal 30 tahun, maka mereka lahir sekitar tahun 1980. Semasa bayi oleh orangtua yang sibuk mereka ditaruh dalam boks didekatkan dengan pesawat televisi agar tidak rewel. Kawan mereka CHIPs, serial bikinan MGM. Kalau tidak itu, Oshin, pahlawan dari anak-anak sampai para ibu rumah tangga produksi NHK. Agak besar sedikit, kepada mereka disosialisasikan romantisme Return to Eden, miniseri dari Australia yang kedatangan bintang-bintangnya ke Indonesia, seperti Rebecca Gilling dan Peta Toppano, membuat tabloid Monitor meledak oplahnya—sebelum kemudian dibredel.
Dari lahir, generasi ini hanya kenal satu presiden bernama Soeharto. Ketika kepemimpinan yang bersifat diktator itu tidak cool lagi—begitu istilah generasi zaman ini—bersama-sama dibongkarlah kekuasaan yang oleh generasi sebelumnya dianggap punya kekuatan mistik, tak ada yang punya nyali mengungkitnya. Lain bagi generasi baru tadi. Labelisasi komunis, PKI, tak lagi mempan. Vokabulari mereka adalah Guess, Calvin Klein, Armani, dan lain-lain, yang dalam konteks kapitalisme global memerlukan ruang kebebasan lebih luas.
Ketika kesumpekan menjadi-jadi, beramai-ramai didudukilah kubah Gedung DPR. Ah, Anda semua ingat peristiwa itu. Bersamaan dengan koinsidensi sejarah, peristiwa ini menandai berakhirnya sebuah rezim, yang selama 30 tahun menjaga kekuasaannya dengan penciptaan simulakrum berupa cerita hantu bernama komunis yang setiap saat bisa membuat orang kemasukan, kerawuhan. Kalau itu terjadi, orang bersangkutan digebuk. Matek.…
Depan-belakang
Yang terjadi memang kontestasi simulakrum—suatu proses pembentukan kesadaran yang dihasilkan oleh strategi narasi dan pencitraan. Indoktrinasi ideologi, seperti penataran P4 dulu, dalam perkembangannya harus berhadapan dengan indoktrinasi iklan-iklan konsumsi yang menyubversi masyarakat sehari-hari dengan cara lebih cerdas, lebih memikat, lebih seksi. Che Guevara yang oleh bapak-bapak dulu dianggap hantu komunis bagi generasi baru adalah ikon mode.
Inilah era konsumsi dan gaya hidup itu. Dalam dunia pariwisata yang merupakan industri waktu luang berskala besar, Dean MacCannell lewat The Tourist menulis, mengenai adanya front (depan) dan back (belakang).
Dua kategori itu untuk menggambarkan proses rekayasa sosial di zaman ini. Front adalah tempat masyarakat konsumsi ini menemukan dirinya, menemukan kepuasannya, atau kalau mau ditarik lebih jauh lagi, mengaktualisasikan dirinya. Sementara back adalah ruang belakang, kalau restoran taruhlah dapur, tempat masak, atau kalau arena pertunjukan adalah wilayah belakang panggung, ruang ganti, di mana konsumen dan penonton tidak diberi akses. Back atau ruang belakang ini adalah tempat semua mistifikasi diciptakan, ”realitas” dipabrikasi.
Jean Baudrillard dengan sengit menggambarkan bahwa kebudayaan kita, secara efektif, semuanya adalah front alias depan. Tak ada ”ruang belakang” sebuah realitas. Yang ada adalah lapisan-lapisan tontonan dan simulakrum. Dengan kata lain, semua yang kita pahami sebagai ”realitas” sebenarnya hanya bayang-bayang, hanya citra.
Pada situasi ini, tak tersedia lagi kesempatan untuk mengisolasi realitas atau kenyataan alami sebagai variabel utama, variabel fundamental. Yang namanya kenyataan, telah dikemas dalam statistik, angka-angka hasil survei dan jajak pendapat. Setiap individu dipaksa untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu koherensi angka-angka statistik.
Kita semua, kata Baudrillard, berada pada satu titik di mana konsumsi telah mengambil alih hidup kita. Semua aktivitas kita diikat jadi satu dalam modus kombinasi yang sama, satu jalan menuju kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) dibentangkan di depan kita. Tak ada jalan lain. Semua telah terkomodifikasi, tak ada lagi yang ”riil” atau ”nyata”. Baik itu citra diri yang terwujud dalam pakaian, tas, sepatu, sampai politik, agama, dan lain-lain.
Agensi
Inilah lapisan-lapisan tontonan dan simulakrum, bagian depan panggung, front. Para tokoh tampil di televisi, di halaman-halaman koran, di baliho-baliho. Jelas ini bukan zaman Tan Malaka yang ditulis oleh majalah Tempo dengan sangat komprehensif dalam laporan khususnya. Kalau tokoh itu bergerak di belakang layar dengan sejumlah nama samaran dan hidup dalam persembunyian-persembunyian—di situ ia malah melahirkan magnum opus Madilog—maka tokoh-tokoh politik masa kini berlomba-lomba naik panggung, berada di depan layar, mencoba meraih hati publik dalam strategi pencitraan dengan tag line ”win the heart”. Mereka mengedepankan diri dengan senyumnya, dengan jasnya, sampai dengan nomor mobilnya.
Kalau dulu pada bagian back atau ”belakang layar panggung” adalah dapur tempat pengolahan gagasan-gagasan kebangsaan, sekarang di bagian itu adalah wilayah agensi, biro iklan, pokoknya bagian bisnis. Mereka mengolah angka, memanipulasi realitas, mematok target. Bisnis telah menjadi panglima, dan nasionalisme—seperti halnya momen-momen lain seperti hari besar keagamaan—menjadi dagangan tahunan.
Selamat mengonsumsi nasionalisme.
Sumber : kompas
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.