JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan pandangannya terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dan larangan produk tembakau.
Hal tersebut dijelaskan oleh Cahyani Suryandari selaku Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham.
“Ada dua isu yang menjadi pertanyaan. Pertama, apakah UU Kesehatan menyamakan produk tembakau seperti narkotika dan psikotropika?” tanya Cahyani Suryandari, Kamis (12/10/2023).
“Kedua, apakah pengaturan produk tembakau dalam UU Kesehatan dan turunannya merupakan bentuk pelarangan atau sebenarnya kita memaknainya sebagai pengamanan?” tambahnya.
Cahyani melanjutkan, untuk pertanyaan pertama terjawab bahwa produk tembakau adalah produk legal dan berbeda dengan narkotika dan psikotropika. Kelegalan produk tembakau telah dinyatakan tegas dalam enam putusan MK.
Selain itu menurutnya, pasal yang sempat menyetarakan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang sempat muncul ketika UU Kesehatan masih berupa draf telah dihilangkan saat pembahasan di DPR.
“Kemudian, untuk pertanyaan kedua. Apakah aturan produk tembakau di RPP Kesehatan ini maknanya bersifat larangan atau pengaturan? Nah, ini karena keduanya beda makna. Sedangkan di dasar hukumnya, yaitu UU Kesehatan, di pasal 152 itu jelas dikatakan bahwa aturan bagi pengamanan zat adiktif produk tembakau adalah dalam bentuk PP, maka semestinya berbentuk aturan, bukan pelarangan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, bahwa dari putusan MK, rokok bukan barang ilegal sehingga tidak dilarang untuk diiklankan meskipun dengan syarat tertentu. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengaturan dan pengamanannya, jika mengacu pada peraturan yang berlaku saat ini, iklan rokok itu diperbolehkan. Misalnya, jika di TV, mulai dari jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Lalu, tidak menampilkan adegan orang merokok, tidak memperlihatkan bentuk rokoknya, dan lainnya.
“Tapi ya memang, tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan, tidak ada larangan untuk diperjualbelikan, sehingga rokok adalah barang legal. Saya melihat putusan MK itu untuk melindung petani tembakau dan produk,” jelas Cahyani.
Lagipula ia melanjutkan, sekalipun besifat melarang, PP tidak bisa memberikan sanksi pidana.
“Tidak bisa sanksi pidana itu dikenakan dalam instrumen Peraturan Pemerintah. Konsekuensi pidana harus dalam bentuk undang-undang,” terangnya.
Cahyani juga mengatakan, kunci dari pengaturan produk tembakau adalah edukasi. Oleh karena itu, diharapkan ada pembahasan bersama dalam menyusun peraturan ini.
“Kita duduk bersama untuk membicarakan sejauh mana batasan pengaturannya,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Mahbub Ma’afi, mengatakan PBNU memberikan penolakan keras sejak munculnya pasal yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di draft UU Kesehatan waktu lalu. Penolakan ini juga disuarakan terhadap isi aturan produk tembakau di RPP Kesehatan.
“Di RPP ini, (produk tembakau) seolah mau dimasukan (upaya penyetaraan tembakau dengan narkotika) lagi. Padahal, kalau yang diinginkan adalah peraturannya pakai yang lama saja. Tidak usah diutak-atik lagi,” ujarnya.
Berbagai pihak merasa bahwa kerasnya Kementerian Kesehatan terhadap produk tembakau telah melampaui kadar batasnya. “Ini perlu kita kritisi. Padahal semua tahu bahwa ada pendapatan yang sangat luar biasa yang dihasilkan dari industri tembakau untuk pemerintah,” tutupnya.
The post Pandangan Kemenkumhan Terkait RPP Kesehatan dan Larangan Tembakau first appeared on Majalah Hukum.