Dalam praktek, dengan pertimbangan untuk memberikan kemudahan bagi debitur dalam menyelesaikan proses pemberian kredit dalam waktu yang singkat, mudah dan hemat biaya, seringkali akta jaminan fidusia dibuat dengan dasar surat kuasa dalam bentuk baku dibawah tangan, dan selanjutnya berdasarkan surat kuasa tersebut nantinya penerima kuasa menghadap notaris untuk dibuatkan akta jaminan fidusia apabila ada indikasi nasabah mengalami kesulitan membayar angsuran atau bahkan apabila sudah harus dilakukan eksekusi karena kredit macet.

Dalam konteks fidusia, surat kuasa dalam bentuk baku dibawah tangan sangat lemah secara hukum dan sangat berbeda dengan hak tanggungan yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Bahkan jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), surat kuasa dibawah tangan tidak memiliki kepastian hukum.

Pasal 1 angka 1 dan 2 UUJF menyebutkan bahwa : Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda sedangkan Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Pada lembaga fidusia atau lembaga kepercayaan yang dipindahkan atau diserahkan adalah hak atas benda secara kepercayaan, sedangkan bendanya sendiri masih tetap berada dalam kekuasaan pemilik benda jaminan dengan demikian masih dapat dipergunakan untuk kepentingan sehari-hari atau melanjutkan usaha debitur pemilik benda jaminan.

Pasal 5 ayat 1 UUJF menyebutkan bahwa Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia, selanjutnya dipertegas dalam penjelasannya yang menyebutkan bahwa Dalam Akta Jaminan Fidusia selain mencantumkan hari dan tanggal, juga mencantumkan waktu (jam) pembuatan akta tersebut.

UUJF tidak mengatur mengenai definisi dari akta Notaris yang dimaksudkan pasal 5 ayat 1 UUJF tersebut, sehingga definisi tersebut mengarah pada Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang menyebutkan bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembuatan akta jaminan fidusia tunduk pada ketentuan Pasal 38 sampai dengan Pasal 65 UUJN, penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia secara akta Notaris oleh pembuat UUJF, mengisyaratkan sebagai norma hukum yang bersifat imperatif (memaksa) bukan bersifat fakultatif.

Pasal 1 ayat 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik menurut pasal 1868 KUHPerdata : suatu akta otentik adalah suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu dimana akta dibuatnya.

Berbeda dengan Akta otentik adalah tulisan di bawah tangan yang dibuat secara bebas, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.

Lembaga Jaminan Fidusia yang dirasakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena prosedurnya lebih mudah, lebih luwes, biayanya murah, selesainya cepat, ternyata untuk pembuatan akta jaminan fidusia, tidak ada pengaturan sama sekali baik dalam UUJF sendiri maupun dalam peraturan pelaksanaanya mengenai adanya kuasa bagi pemilik benda jaminan untuk menjaminkan benda yang dimiliknya, hal ini berbeda dengan UUHT yang secata tegas mengatur adanya kuasa yang dibuat hanya dalam bentuk otentik disebut dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai dasar pembuatan akta pembebanan hak tanggungan.

Akta Jaminan Fidusia sebagai akta notaris harus memenuhi unsur- unsur yang ditentukan oleh undang-undang di dalam proses pembuatannya sehingga memenuhi kriteria untuk disebut sebagai akta otentik, diantaranya adalah adanya unsur pembacaan akta, penandatangan akta pada saat itu dan hal itu dinyatakan secara tegas dalam akta tersebut, diperjelas dalam penjelasan pasal 16 huruf l UUJF yaitu adanya pertemuan secara fisik antara pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia selaku pemberi fidusia.

Secara umum memang perjanjian dianggap sah oleh kedua belah pihak sesuai pasal 1338 termasuk surat kuasa di bawah tangan. Tetapi dari perspektif keotentikan satu akta mempunyai suatu kelemahan karena surat kuasa di bawah tangan tersebut hanya berlaku bagi kedua belah pihak. Tetapi bilamana ada gugatan atau intervensi dari pihak lain, maka kuasa di bawah tangan tersebut akan menjadi masalah. Terkait dengan surat kuasa di bawah tangan sebagai suatu akta jaminan fidusia yang merupakan alat bukti, maka kalau hanya di bawah tangan akta tersebut mempunyai kelemahan dari proses pembuktian. Memang patut diakui bahwa perjanjian fidusia adalah perjanjian yang didasarkan pada kepercayaan. Tetapi terkait dengan adanya suatu akta sebagai alat pembuktian, maka kedudukan surat kuasa di bawah tangan sangat lemah dan tidak memiliki kepastian hukum.

Syarat tentang surat kuasa di bawah tangan dianggap mempunyai kekuatan hukum dalam sistem penjaminan fidusia harus tetap mengacu pada pasal 1880 KUHPerdata yang menyatakan selama akta tersebut dibubuhi pernyataan dan tanda tangan, maka mempunyai kekuatan. Itulah sebabnya untuk kepastian hukum akta di bawah tangan tersebut harus mendapat legitilasi dari notaris yang akan mengalihfungsikan akta tersebut menjadi akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan apabila terjadi gugatan terhadap perjanjian atau benda jaminan fidusia tersebut.

Oleh Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.