Oleh Bernard Simamora

Penyerahan nama 15.000 pegawai di Direktorat Jenderal Pajak oleh Dirjenl Pajak Pajak Mohammad Tjiptardjo ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK untuk diselidiki kekayaannya dengan argumen bahwa Informasi dari PPATK menjadi pembanding bagi Ditjen Pajak untuk mengukur kekayaan mereka, belum merupakan upaya yang signifikan.

Dirjen Pajak menyatakan juga bawah hal itu salah satu upaya penguatan reformasi birokrasi, yakni dengan menggali informasi kekayaan dan penghasilan pegawai di Ditjen Pajak, terutama di unit-unit yang rawan korupsi dan pelanggaran.

Seperti biasanya para petinggi bangsa ini dalam merespon sorotan publik, reaktif suam-suam kuku. Penyerahan 15.000 nama ini dilakukan pascaterungkapnya kasus makelar pajak, Gayus H Tambunan. Bila publik mulai lupa, atau tersubstitusi oleh isu atau berita lainnya, reaktivitas itu melempem, dan kembali pada kebiasaan lama.

Penelusuran kekayaan dan penghasilan dilakukan yang dengan memeriksa ulang surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak pegawai yang bekerja di unit pemeriksaan, keberatan, banding, dan account representative, yang jumlahnya 15.000 orang; dan meminta PPATK memeriksa isi rekening 15.000 pegawai tersebut tidak dapat mengungkap penyalahgunaan yang sebenarnya atas wewenang (abuse of power) aparat perpajakan.

Aparat perpajakan terlalu lihai untuk dapat ditelisik dengan cara seperti itu.. Sangat banyak cara untuk melakukan money loundring hasil gratifikasi yang diperolehnya. Mereka ahli dalam penghilangan jejak, dengan tidak menyimpan gratifikasi di rekening, membeli villa – apartemen – mobil – dan properti lainnya atas nama orang lain, bahkan bisa atas nama pembantunya – bila telah habis dibagi-bagi di lingkaran kroninya yang tidak terlacak menurut ketentuan yang standar dan hukum formal.

Meski nama-nama yang diajukan itu termasuk seluruh kepala kantor wilayah dan kantor pelayanan pajak di seluruh Indonesia yang kini lebih dari 300 unit, dan SPT kami diperiksa termasuk SPT yang dilaporkan pada tiga tahun lalu, dan isi rekening yang diungkap PPATK akan dibandingkan dengan laporan penghasilan dan harta kekayaan pada SPT tiga tahun terakhir. Lalu apabila ada dana yang tidak dilaporkan dalam SPT, berarti ada obyek pajak yang tidak dilaporkan. Walaupun cara ini bakal bisa saja dapat membongkar abuse of power beberapa orang, namun bahkan bongkahan gunung es di atas permukaan pun bakal tidak dicapai, apalagi yang terbesar – yang di bawah permukaan.!

Kita akui saja, bahwa pemahaman umum di masyarakat kita saat ini tentang seseorang yang diterima bekerja di ditjen pajak bakal jadi orang kaya! Banyak bukti, dan kebanyakan masyarakat Indonesia mengetahui secara empirik, aparat perpajakan adalah “raja uang”. Ada ribuan “gayus-gayus” yang saat ini masih aktif, dan ada puluhan hingga ratusan ribu orang mantan “gayus-gayus” yang telah “mendarah-danging” sebagai penikmat gratifikasi akibat pernah berkerja (belum tentu pimpimpinan) di Ditjen pajak.

Mafia, bukan pekerjaan satu dua orang. Bukan hanya sekedar networking. Bukan hanya sekedar ada pengaman internal dan eksternalnya. Mereka siap dengan tameng dan bumper, bahkan “melenyapkan” yang mencium bau busuknya. Mafia hanya bisa tumbuh di lingkungan yang nutrisi, metabolisma, pernafasan, dan vitamin atau pupuk yang sesuai dan kondusif untuk kedewasaannya. Bukti bahwa ia tumbuh subur di Ditjen Pajak, sudah sahih dengan sendirinya. Masalahnya adalah, sejauh mana kita ingin melenyapkan mafia di Ditjen Pajak atau di Kementerian Keuangan? Sekdedar melenyapkan atau membuat kapok sekaliber Gayus saja, dan itu pun hanya sekedar reaksi atas sorotan publik yang diawali Susno Duaji?

Bila memang hendak mereformasi Ditjen Pajak, bila ingin “mem-punishment” gayus-gayus yang lain, langkah Dirjen Pajak di atas terlalu normatif dan hanya sekadar reaktivitas temporer yang akan segera menguap pula. Dibutuhkan penerapan pembuktian terbalik. Sederhana saja, tergantung will dari Ditjen Pajak bekerja sama dengan aparat yang berwenang. Bila perlu dilengkapi dulu dengan produk hukum yang lebih lengkap

Pembuktian terbalik untuk mengetahui apakah pegawai Ditjen pajak menyalahgunakan posisinya dengan menerima gratifikasi dapat dilakukan hanya dengan memeriksa data historis keuangan pegawai bersangkutan secara komprehensif bukan hanya rekeningnya di Bank. Lakukan investigasi tentang berapa penghasilannya yang layak, lalu investigasi pola hidup dan pola konsumsinya. Pola hidup dan pola konsumsi yang ditelusuri dengan baik melalui teman-teman sang pegawai, keluarga, tetangga, butik langganannya, salon tetapnya, supirnya, showroom pembelian mobilnya, agen propertinya, dan seterusnya. Bila langkah-langkah investigasi dilakukan dengan serius kepemilikan harta pribadi, atau yang dialihkan atas nama anak, istri, ayah, ibu, mertua, adik, kakak, tetangga, atau pembantunya akan dapat terkuak.

Persoalannya, apakan Dirjen Pajak berani melabrak formalitas – normatif dengan cara yang baru yakni pembuktian terbalik melalui investigasi ? Apakah aparat hukum yang relevan bersedia mengorbankan ATM-nya (anjungan tunai manusia, maaf) yang selama ini juga menyumbang gratifikasi kepadanya?. Ini rahasia umum.

Bernard Simamora, dosen tetap pada STMIK GANESHA di Bandung