Krisis komoditas yang ditandai dengan lonjakan harga bahan makanan utama dan minyak mentah dunia hingga lebih dari dua kali lipat pada tahun 2007 hingga pertengahan 2008 diperkirakan tidak akan terjadi di 2009 meskipun krisis di sektor keuangan dunia sudah muncul sebagai pemicunya.
Meski demikian, pemerintah dan Bank Indonesia tidak memiliki alasan untuk tidak waspada. Salah satu langkah pemerintah adalah menurunkan ekspansi anggaran selama ketidakjelasan di pasar uang dan modal dunia masih terjadi.
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Jumat (19/9).
Menurut Sri Mulyani, terjadi perbedaan mendasar antara krisis keuangan yang dimulai tahun 2007 dan krisis keuangan yang mulai muncul saat ini meskipun keduanya berawal dari kekacauan di Amerika Serikat.
Krisis tahun 2007 ditandai dengan kebingungan pelaku pasar modal dan pasar uang dunia yang akhirnya mengalirkan likuiditas mereka ke pasar komoditas sehingga mendorong kenaikan harga makanan, seperti jagung, kedelai, gandum, hingga minyak mentah. Itu terjadi karena likuiditas sangat banyak, tetapi kepercayaan terhadap pasar modal dan uang Amerika menurun.
”Tetapi sekarang, bedanya likuiditas justru sedikit. Kebingungan pelaku pasar diiringi dengan sikap menahan diri karena hilangnya kepercayaan satu sama lain sehingga mereka berhenti bertransaksi. Jika orang tak percaya satu sama lain, maka yang dipercaya hanya satu, yakni emas. Makanya, harga emas sangat naik. Mereka tidak percaya lagi pada surat berharga atau properti,” ujarnya.
Atas dasar itulah, tekanan pada harga komoditas seperti yang terjadi di tahun 2007 hingga pertengahan 2008 tidak akan terulang pada tahun 2009.
Minyak mentah yang sempat diserbu paling awal oleh pemilik modal pada 2007, kini diperkirakan akan berhenti bergerak pada level 90-100 dollar AS per barrel, setelah meroket ke posisi 140 dollar AS per barrel, Juli 2008.
Risiko pengetatan likuiditas
Sri Mulyani mengatakan, kondisi harga minyak mentah itu terjadi karena komoditas ini memiliki fungsi yang unik. Tahun 2007, harga minyak melambung tinggi setelah ada beberapa kali bencana alam menyerang ladang-ladang minyak di AS.
Kenaikan harga minyak kemudian memicu kenaikan harga komoditas pangan, terutama jagung, kedelai, dan gandum.
Ekonom Dradjad H Wibowo mengingatkan, pemerintah dan BI jangan meninabobokan masyarakat bahwa Indonesia akan tetap aman dari dampak krisis keuangan global.
Kondisi yang benar adalah, Indonesia tengah menghadapi risiko pengetatan likuiditas yang cukup serius sebagai akibat gejolak keuangan global.
Saat ini, perbankan nasional sudah terkena akibatnya. Itu ditandai dengan suku bunga patokan BI yang naik, tetapi jumlah dana yang terserap di Sertifikat Bank Indonesia malah turun.
Di sisi lain, pemerintah sulit menjual surat utang negara (SUN) sebagai dampak dari ketidakjelasan dalam pergerakan pasar modal dan pasar uang internasional.
”Kalau SUN sulit dijual, lalu defisit APBN mau dibiayai apa? Jika defisit masih di atas 1,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), maka risiko likuiditas di APBN akan semakin besar,” ujar Dradjad.
Untuk menekan risiko likuiditas, defisit APBN harus dipangkas menjadi sekitar 1-1,3 persen terhadap PDB. Realisasi belanja negara 2008 harus dipotong lagi 25-30 persen dan mengurangi target belanja negara 2009. (OIN)
Sumber : kompas
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.