JAKARTA – Hamdan Zoelva selaku mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut semua norma dalam undang-undang bisa dan berwenang diuji materi oleh MK untuk diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Termasuk juga pasal 168 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang saat ini tengah diuji materi hingga menjadi pembicaraan publik. Pasal itu mengatur soal sistem pemungutan suara dalam pemilu.
“Semua norma UU itu menjadi kewenangan MK untuk mengujinya apakah bertentangan dengan UUD atau tidak,” ujar Zoelva, Sabtu (3/6/2023).
Zoelva mengatakan tak sedikit yang menentang urusan sistem pemilu diuji oleh MK karena berpotensi diubah. Menurutnya, hal itu lumrah terjadi lantaran politik sarat dengan pandangan subjektif dari berbagai pihak.
Apalagi saat ini tahapan Pemilu 2024 sudah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Memang putusan MK terkait urusan pemilu dan politik pasti akan selalu menimbulkan polemik karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda berdasarkan pandangan politik subjektif masing-masing. Tapi MK harus memutus berdasarkan alasan-alasan obyektif yang dapat diterima,” ujar Zoelva.
Zoelva juga mengatakan MK punya kewenangan untuk memutuskan suatu norma dalam UU termasuk open legal policy atau bukan lewat uji materi.
Open legal policy adalah kebijakan hukum yang dimiliki pembuat UU yaitu presiden dan DPR.
Dengan kata lain, MK tetap berwenang menguji materi sistem pemungutan suara meski UUD 1945 tidak mengatur jelas. Dalam sidang uji materi nanti MK memutuskan pasal mengenai sistem pemungutan suara termasuk open legal policy atau bukan.
“Yang akan memutuskan open legal policy atau bukan open legal policy adalah MK setelah menilai dan memutus sistem pemilu,” ujarnya.
Saat ini MK tengah melakukan uji materi sistem proporsional terbuka (coblos caleg) yang diatur dalam Pasal 168 UU Pemilu. MK bisa mengabulkan, menolak atau tidak menerima permohonan uji materi tersebut.
Jika menolak atau tidak menerima, maka pemungutan suara dalam pemilu dilakukan seperti sebelumnya, yakni mencoblos gambar caleg atau sistem proporsional terbuka.
Namun apabila MK mengabulkan permohonan, maka sistem pemungutan suara dalam Pemilu menjadi sistem proporsional tertutup atau mencoblos logo partai politik.
Luqman Hakim selaku anggota DPR dari Fraksi PKB mengatakan, MK seharusnya tidak melakukan uji materi terhadap Pasal 168 mengenai sistem pemungutan suara dalam UU Pemilu.
Dia menyebut sistem pemilu tidak diatur dalam UUD 1945, sehingga MK tidak bisa mengujinya.
Luqman mengatakan sistem pemilu juga masuk dalam kategori open legal policy. Hanya lembaga pembuat UU yang bisa membuat aturan sistem pemilu yakni Presiden dan DPR.
Luqman juga menyebut MK pun tidak berwenang membuat norma UU karena tidak mendapat mandat konstitusi untuk menjadi lembaga pembentuk UU.
Apabila MK mengabulkan permohonan yang berimplikasi mengubah sistem pemungutan suara, Luqman mengatakan semua pihak bisa mengabaikannya.
“Karena Putusan dibuat di luar kewenangan yang dimiliki, maka Putusan MK tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan karenanya wajib diabaikan. DPR, Presiden, KPU, Bawaslu, DKPP, dan semua pihak tidak boleh mengikuti putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Luqman lewat siaran pers, Sabtu (3/6/2023).
The post Penjelasan Hamdan Zoelva Terkait Posisi MK Soal Pasal Sistem Pemilu first appeared on Majalah Hukum.