Pesta perkawinan adat Batak di kota-kota besar pada prinsipnya sama dengan yang dilaksanakan di bona pasogit (kampung halaman). Pesta ini umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: Patuahon Hata, Marhusip, Marhata Sinamot, Martumpol, dan Marria.

Pelaksanaan pesta di kota besar umumnya dilakukan di gedung pertemuan umum. Hal ini dikarenakan jumlah tamu dari pihak parboru (pemberi gadis) dan paranak (penerima gadis), meskipun dibatasi, tetap tidak akan muat dalam satu rumah. Oleh karena itu, dibutuhkan gedung pertemuan (wisma) yang mampu menampung ribuan undangan. Sama seperti pesta di bona pasogit, pesta ini tetap mempertahankan esensi adat bahwa perkawinan bukan hanya menyangkut dua individu (pengantin) tetapi juga mencakup seluruh anggota dalihan na tolu dari kedua belah pihak. Kehadiran para tamu juga berfungsi sebagai kontrol sosial dalam kehidupan rumah tangga pengantin di masa mendatang.

Beberapa hari sebelum pesta perkawinan, undangan mulai disebarluaskan. Jumlah undangan bergantung pada jumlah keluarga dan komunitas masing-masing pihak, yang telah dibahas sebelumnya dalam tahap Marhusip. Biasanya, pihak paranak mengundang lebih banyak tamu dibandingkan pihak parboru karena mengharapkan tumpak (sumbangan berupa uang) dari para undangan.

Di bona pasogit, persiapan pesta dilakukan secara gotong royong oleh pardongan sahutaon (teman sekampung), dibantu oleh pihak boru dari keluarga pengantin. Namun, di kota-kota besar, tugas ini sering diserahkan kepada penyedia jasa seperti katering. Meski demikian, secara formalitas, pardongan sahutaon dan boru tetap berperan dalam pelayanan tamu, biasanya sebagai penerima tamu.

Prosesi Pesta Perkawinan

Pada hari yang telah ditentukan, sekitar pukul 09.00 pagi, rombongan paranak datang ke rumah parboru membawa makanan yang disebut sibuha-buhai. Makanan ini dibawa oleh salah satu boru dari pihak paranak, yang disebut si huti ampang. Agar lebih praktis, makanan yang dibawa biasanya hanya berupa lauk, sementara nasi disediakan oleh pihak parboru. Setelah makan bersama, mempelai wanita pamit kepada keluarga di rumah yang akan ditinggalkannya, lalu berangkat bersama rombongan menuju gereja untuk pemberkatan. Di gereja, para kerabat dari kedua belah pihak sudah menunggu untuk mengikuti prosesi pernikahan. Setelah pemberkatan selesai, rombongan mengantar kedua mempelai ke gedung tempat pesta adat akan dilangsungkan.

Di dalam gedung, kedua pengantin duduk berdampingan di bagian depan. Di samping mempelai wanita duduk orang tuanya, kakek/nenek, serta saudara laki-laki dari ayahnya beserta istri masing-masing. Susunan tempat duduk yang sama juga berlaku di sisi mempelai pria.

Para tamu dari pihak parboru biasanya membawa beras dalam tandok, dan sebagian juga membawa ikan mas yang telah dimasak. Beras dan ikan mas ini diserahkan kepada perwakilan parboru yang bertugas menerimanya di bagian depan gedung. Sementara itu, beberapa tamu dari pihak paranak yang merupakan hula-hula membawa beras sipir ni tondi (beras penguat jiwa), melanjutkan tradisi di bona pasogit. Namun, di kota-kota besar, banyak yang menggantinya dengan sumbangan uang (tumpak), yang diberikan setelah makan selesai.

Prosesi Adat

Jika perkawinan tersebut merupakan dialap jual, maka pengatur acara yang memandu prosesi adalah pihak parboru. Sekitar pukul 13.00, acara makan dimulai. Sebelum makan, pihak paranak mempersembahkan tudu-tudu ni sipanganon (potongan daging babi sebagai tanda dimulainya pesta adat) di atas baki yang berisi jambar-jambar (potongan daging babi yang dibagi sesuai aturan adat) kepada suhut parboru. Sebagai balasan, pihak parboru mempersembahkan ikan mas kepada suhut paranak. Kedua persembahan ini diiringi kata pengantar dalam bahasa Batak yang sesuai dengan adat.

Sebaliknya, dalam perkawinan taruhon jual, pengatur acara adalah pihak paranak. Dahulu, metode taruhon jual dianggap sebagai penghinaan terhadap pihak parboru, seakan-akan mereka mengantarkan anak gadisnya untuk dinikahi orang lain. Namun, di kota-kota besar, perbedaan antara dialap jual dan taruhon jual semakin jarang dipersoalkan, terutama karena pesta tidak lagi diadakan di rumah tetapi di gedung pertemuan.

Dalam upacara adat, pihak parboru mempersembahkan ikan mas yang disebut dekke sitio-tio kepada sang menantu. Ikan ini melambangkan kesuburan karena memiliki banyak telur. Masyarakat Batak sangat mendambakan keturunan (gabe). Selain itu, pihak hula-hula memberikan ulos (kain adat) yang dililitkan pada tubuh boru sebagai simbol perlindungan dan kehangatan, melambangkan harapan akan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pengantin baru.

Jika mertua tidak dapat hadir dalam pesta di kota besar, ia bisa diwakili oleh saudara laki-lakinya, atau jika tidak ada, oleh kerabat dekat yang masih semarga. Hal ini sesuai dengan pepatah Batak: Mardangka salohot, marnata na sumolhot (orang yang memiliki hubungan darah lebih dekat dengan mertua adalah yang berhak mewakili dan tidak boleh menghindari tanggung jawabnya).

Pihak boru tidak hanya menerima, tetapi juga memberi daging yang disebut jambar. Hewan yang dipotong biasanya babi (bagi Batak Kristen) atau kambing (bagi Batak Muslim). Pembagian jambar mengikuti adat dalihan na tolu. Selain jambar berupa daging, ada pula jambar hata, yaitu hak untuk berbicara dalam upacara adat.

Penutupan Upacara Adat

Sebagai penutup, diadakan dialog resmi (marhata) antara boru dan hula-hula. Ini merupakan acara puncak dalam setiap upacara adat. Tanpa marhata, suatu pesta tidak dianggap sebagai pesta adat. Dalam acara ini, setiap individu dalam adat Batak disebut raja, tergantung pada posisinya—raja ni hula-hula, raja ni boru, atau raja ni dongan sabutuha.

Prinsip yang masih dianut dalam adat Batak adalah si soli-soli do adat—gotong royong dalam upacara adat. Seseorang yang rajin berpartisipasi dalam acara adat akan mendapat balasan yang sama saat ia mengadakan pesta. Sebaliknya, mereka yang malas berpartisipasi akan mendapati pestanya sepi, meskipun kaya dan berpangkat tinggi.

Di bona pasogit, pesta adat biasanya dimulai pagi hari sebelum tengah hari (diparnakkok ni mataniari). Namun, di kota-kota besar, jam makan dimulai sekitar pukul 14.00, menyesuaikan dengan jam kerja. Pesta lebih sering diadakan pada hari Jumat atau Sabtu agar lebih mudah dihadiri oleh tamu undangan.

Untuk menghemat waktu, beberapa acara seperti maningkir tangga dan paulak une yang biasanya diadakan beberapa hari setelah pesta di bona pasogit, kini langsung dilakukan di gedung pada hari yang sama, setelah upacara adat ditutup dengan doa oleh pangula ni huria (petugas gereja).

Oleh Bernard Simamora, tinggal di Bandung asal Doloksanggul