Ratusan kepala desa di wilayah III Cirebon menolak kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), karena dianggap sebagai biang gejolak sosial di masyarakat. Penolakan tersebut disampaikan ratusan Kades se-wilayah Cirebon saat acara pelatihan Program Raksa Desa bagi Pemegang Kas Satlak se-Provinsi Jabar di Hotel Apita Cirebon, Jumat (16/5).
Mereka lebih sepakat dengan kebijakan padat karya yang lebih manusiawi dan memberikan hasil nyata bagi pembangunan di desa.
Momon Sayaman, Kepala Desa Indrapatra, Kecamatan Ciganda Mekar, Kabupaten Kuningan mengatakan, pembagian BLT sejak dulu selalu menyisakan gejolak karena pasti ada warga miskin yang tidak masuk daftar, sehingga melakukan protes ke desa.
“Kami di lapangan yang selalu mendapati keluhan dari mereka yang tidak kebagian BLT itu. Lebih baik diarahkan untuk pembangunan prasarana desa dengan padat karya,” katanya.
Hal senada dikatakan, Pjs Kades Karang Asem, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Hartono, yang juga menilai program padat karya lebih dirasakan langsung oleh masyarakat, bukan hanya penerima program tetapi juga warga lainnya.
“Lebih mendidik jika memberikan uang setelah bekerja dulu, dari pada memberikannya secara cuma-cuma namun dengan cara sampai harus berdesak-desakan untuk mendapatkannya,” katanya.
Para kepala desa itu berharap Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Jabar H Pery Soeparman SH MM, MSi atau Kabakorwil Cirebon Drs H Nunung Sanuhri, MPd. agar bisa meneruskan aspirasi tersebut ke tingkat pusat.
“Kami minta kebijakan pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bisa ditinjau ulang. Sudah ada pengalaman menimbulkan gejolak mengapa mesti diteruskan,” kata Hartono.
Sepakat
Kepala BPMD Jabar Pery Soeparman seusai membuka kegiatan pelatihan, menyatakan sepakat dengan tuntutan kades se-wilayah Cirebon itu dan menganggap program padat karya memang lebih memberdayakan masyarakat serta ada hasil yang bisa dirasakan bersama, bahkan ada unsur membangun kebersamaan dalam masyarakat desa.
“Kami di daerah juga heran, pemberian BLT itu pernah dihentikan karena ternyata menimbulkan gejolak dan diganti Program Keluarga Harapan atau PKH. Kenapa sekarang kebijakan yang sudah jelas menimbulkan gejolak kembali digulirkan,” katanya.
sumber : kompas