bernardnarasumberOleh Bernad Simamora

Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi atas Pasal 50 Ayat 3 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sejumlah persoalan sangat mendesak harus diselesaikan. Persoalan itu menyangkut proses transisi, kelanjutan program pendidikan yang telah dirancang oleh eks Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dana-dana pemerintah – hibah luar negeri – donasi orangtua yang diterima sekolah, serta kelanjutan standar mutu, serta regulasi-regulasi yang memayungi RSBI atau yang merujuk Pasal 50 Ayat 3 UU No 20/2003 yang gugur dengan sendirinya. Selain itu, momentum ini perlu dimaknai lebih mendalam selain mencari subsitusi RSBI.

Terkait transisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang memunculkan opsi sekolah kategori mandiri untuk sekolah-sekolah bekas RSBI, dipandang hanya pergantian sampul saja. Selain mengingkari putusan MK, opsi ini juga tidak didukung regulasi yang ada. Oleh karena itu, tidak tepat bila transisi RSBI ke SSN (Sekolah Standar Nasional) hanya mencari bentuk atau nama lain namun substansi elitisnya, kastanisasinya atau diskriminasinya tetap tercium.

Dana-dana yang selama ini juga mengalir dari berbagai sumber ke sekolah-sekolah berlabel RSBI perlu dievaluasi pengalokasiannya, serta bagaimana kelanjutannya tekait pencabutan status RSBI-nya. Sudah menjadi pengetahuan umum, RSBI itu sekolah kaya, dan pimpinannya juga kaya. Pasalnya, perubahan RSBI menjadi SSN dengan mengandalkan BOS dan BOP serta hibah lainnya dari pemerintah sebagaimana SSN, apakah pola pengalokasian dana dan tingkat konsumsi sekolah dan pimpinannya bisa kembali menjadi “SSN”?

Disamping itu, Kemendiknas harus segera membenahi berbagai regulasi yang selama ini menaungi keberadaan RSBI, baik dari tata kelola maupun pengaturan anggaran dan penyaluran bantuan. Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan kekosongan hukum.

Persoalan paling urgen adalah kelanjutan program yang telah dirancang oleh eks RSBI untuk peserta didiknya yang baru berlangsung atau yang belum tuntas. Misalnya, untuk siswa Sekolah Dasar (SD) yang baru diterima di kelas 1 tahun 2012 lalu, konstinuitas program yang akan ditempuhya dalam 5,5 Tahun sisa masa studi akan mengalami turbulensi. Program yang dirancang RSBI selama ini merujuk standar mutu oleh PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) + dengan tambahan faktor X. Selama ini faktor X adalah kelebihan RSBI dari SSN yang hanya merujuk SNP.

Pembubaran status RSBI selayaknya tidak harus berdampak besar bagi siswa dan pola belajar mengajar di kelas, serta tidak akan menurunkan mutu pelayanan pendidikan maupun pamor sekolah. Untuk mempertahankan program sekolah, substitusi pungutan yang dilakukan RSBI kepada orangtua siswa juga harus digantikan dengan Komite dan pemerintah seperti SSN.

Jika saja pengalokasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi dan daerah otonom yang masing-masing sebesar 20% apabila digunakan sasaran dan efesien, itu sudah merupakan dana yang sangat besar. Dana sebesar itu, seyogyanya, bukan hanya mampu menyokong eks RSBI, tetapi seluruh sekolah yang ada.

Masyarakat yang mengerti pengelolaan pendidikan, akademisi dan peneliti, bahkan birokrat pendidikan di pusat, di propinsi, maupun di kabupaten/kota mengetahui betul bahwa selama ini dana pendidikan yang naik menjadi 20% dari APBN dan APBD beberapa tahun terakhir tidak langsung menunjang pembelajaran. Dengan sendirinya juga tidak menunjang mutu pendidikan. Sejumlah seminar, sosialisasi, dan program-program Kemendiknas dan dinas-dinas Pendidikan yang tidak urgen telah menghabiskan dana APBN/APBN tidak kecil di hotel-hotel, restoran-restoran, untuk rapat, seminar, diskusi, kunjungan dinas, studi banding, dan sebagainya yang tidak berpengaruh pada mutu pendidikan. Dalam hal ini telah terjadi paradoks pengelolaan dana oleh brokrat pendidikan kita, yang menjauhkan panggang dari api.

Bubarnya RSBI merupakan momentum yang tepat untuk merekayasa ulang upaya peningkatan mutu pendidikan secara nasional melalui program-program yang langsung mendukung proses pembelajaran bermutu di sekolah. Selain itu, pengalokasian dana pendidikan dirumuskankan ulang secara proporsional sesuai tuntutan SNP. Redistribusi alokasi dana pendidikan sesuai kebutuhan setiap sekolah, dan langsung menunjang pembelajaran. Birokrasi pendidikan perlu dipangkas untuk menghindari duplikasi atau tumpang tindih program maupun pendanaan dari pemerintah pusat dengan program propinsi dan kabupaten/kota, maupun celah praktik korupsi dan gratifikasi dibidang pendidikan.

Kemendikbud perlu berdialog dengan para akademisi, peneliti, serta penggiat maupun pengamat pendidikan untuk bersama-sama memikirkan dan menggagas bentuk yang tepat untuk sekolah bekas RSBI yang ada di seluruh Indonesia, serta memanfaatkannya sebagai momentum peningkatan mutu secara menyeluruh. Mengapa tidak?


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.