INI langkah lanjutan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dari dalam: merampok independensi penyidik. Caranya, lewat aturan baru “penyederhanaan pemeriksaan saksi kasus korupsi”.

Pimpinan Komisi berencana mengubah model pemeriksaan dengan mempersingkat waktu pemeriksaan saksi. Penyidik juga diminta menyiapkan daftar pertanyaan serta membatasi pemanggilan saksi hanya yang berhubungan langsung dengan pokok perkara. Alasannya, pimpinan menyatakan mendapat banyak keluhan dari saksi yang diperiksa penyidik berjam-jam.

Rencana aturan tersebut mengada-ada. Tidak ada yang salah pada pemeriksaan secara maraton tersebut. Dari metode itulah, sejak komisi antirasuah berdiri 17 tahun lalu, penyidik menggali keterangan saksi dan mengembangkan perkara.

Alasan pimpinan bahwa penyidikan harus berlangsung cepat bisa membuat pemeriksaan berlangsung grasa-grusu. Perlu diingat, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang kerap dilakukan orang dengan latar belakang pendidikan dan jabatan tinggi dengan modus yang kian kompleks. Dengan sempitnya ruang bagi penyidik untuk memperoleh informasi, ujung-ujungnya, mereka bisa keliru membangun konstruksi hukum atau salah menjerat tersangka dan gagal menyelamatkan uang negara.

Protes para saksi baru dapat dipertimbangkan jika mereka mendapat tekanan dari penyidik-termasuk intimidasi fisik. Selama ini, belum ada keluhan seperti itu. Selama pemeriksaan, yang memang bisa sampai belasan jam, saksi kerap diberi waktu istirahat. Penggalian keterangan bahkan kerap dilakukan sembari memakan kudapan.

Kita bisa menyebut rencana aturan baru ini sebagai alat pimpinan KPK untuk mengendalikan kasus korupsi di lembaganya. Bagaimana tidak, satu per satu saksi yang akan dipanggil harus dilaporkan kepada pimpinan, termasuk materi pemeriksaannya. Ini merupakan sesuatu yang kelewat teknis untuk diurus oleh pejabat selevel komisioner KPK. Padahal, fungsi kontrol sudah dilakukan secara berlapis dari ketua satuan tugas, direktur penyidikan, hingga deputi penindakan. Alih-alih menyederhanakan pemeriksaan, seperti klaim pimpinan, model pemeriksaan ini malah kian rumit dan membutuhkan waktu lebih panjang.

Jika pimpinan ingin mengetahui jalannya pemeriksaan, seperti yang tertuang dalam tugas pokok mereka di Pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, mereka dapat memantau lewat kamera keamanan internal yang dilengkapi sistem suara lewat komputer di ruang kerja masing-masing. Tidak ada kewajiban mendapat persetujuan pimpinan soal pemanggilan saksi dan materi pemeriksaan.

Aturan baru tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang KPK. Tidak ada satu pasal pun dalam peraturan yang baru direvisi akhir tahun lalu itu secara eksplisit menyebutkan kewenangan komisioner untuk terlibat dalam teknis penentuan saksi dan pemeriksaan materi.

Sebaliknya, kewenangan dan independensi penyidik diatur secara gamblang. Sebagai upaya menggali informasi, pemeriksaan saksi dapat disejajarkan dengan penyadapan. Seperti yang tertuang dalam Pasal 12C, penyelidik dan penyidik hanya perlu melaporkan penyadapan kepada pimpinan Komisi secara berkala, bukan menunggu persetujuan mereka. Komisioner KPK sebaiknya membatalkan rencana tersebut.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1302707/salah-arah-pemeriksaan-korupsi/full&view=ok