Beranda Ragam Salah Tembak Omnibus Law Cipta Kerja

Salah Tembak Omnibus Law Cipta Kerja

184

Rusli Abdulah

Peneliti Indef

Jutaan buruh Indonesia sedang merasakan mendung menggelayuti mereka akibat rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang merupakan omnibus law. Mendung tersebut setidaknya disebabkan oleh dua poin. Pertama, ketentuan upah minimum. Terdapat perbedaan formula penghitungan antara aturan lama Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan draf omnibus law itu. Dalam peraturan lama, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, unsur inflasi dimasukkan dalam penentuan upah minimum. Namun, dalam Pasal 88D rancangan omnibus law, penghitungan upah minimum tidak lagi memasukkan inflasi sebagai faktor penambah kenaikan upah pada tahun berikutnya.

Perhitungan di atas memberikan implikasi berupa upah minimum tidak memperhatikan faktor inflasi. Apabila pertumbuhan ekonomi 4 persen dan inflasi 5 persen, secara riil pertambahan upah tahun t+1 sebesar minus 1 persen dari upah minimum tahun berjalan. Namun, secara nominal, upah akan tetap naik, kecuali ketika pertumbuhan ekonomi minus. Formula baru perhitungan tersebut mensyaratkan inflasi berada pada level yang terkendali atau dengan kata lain harus lebih rendah daripada angka pertumbuhan ekonomi.

Kedua, ketentuan struktur dan skala upah. Pasal 92 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Struktur dan skala upah itu kemudian diatur oleh keputusan menteri.

Dalam rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ada perubahan pada Pasal 92 tersebut, sehingga struktur dan skala upah di perusahaan cukup disusun oleh pengusaha dan hal itu digunakan sebagai pedoman untuk penetapan upah berdasarkan satuan waktu. Struktur dan skala upah itu tak lagi diatur oleh keputusan menteri. Hal ini mempermudah pembahasan struktur dan skala upah tanpa menunggu keputusan menteri tapi menghilangkan prinsip tripartit. Pekerja berada pada posisi tawar yang lemah dalam pembahasan struktur dan skala upah.

Kegelisahan para buruh sebenarnya tidak terjadi apabila omnibus law itu tepat sasaran. Selama ini, narasi yang dibangun untuk melandasi “undang-undang sapu jagat” itu adalah bagaimana menarik investasi. Tapi, pada kenyataannya, justru salah tembak. Salah satunya mengenai buruh, seperti yang disebutkan sebelumnya.

Buruh bukan poin utama penghambat investasi. Dalam Global Competitiveness Index 2017-2018, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, bukan buruh atau upah. Korupsi, menurut survei dengan responden para eksekutif perusahaan, memiliki skor tertinggi, yakni 13,8, disusul inefisiensi birokrasi pemerintah (skor 11,1), akses ke pembiayaan (9,2), keterbatasan suplai infrastruktur (8,8), instabilitas politik (8,6), dan tarif pajak (skor 6,4).

Adapun kendala yang berkaitan dengan buruh ada di peringkat kedelapan, yakni rendahnya etika bekerja (skor 5,8), keterbatasan suplai tenaga kerja terdidik (skor 4,3), dan kebijakan buruh yang restriktif (4). Berdasarkan penilaian tersebut, bisa disimpulkan bahwa masalah utama penghambat investasi adalah lebih kepada institusi, berupa implementasi kebijakan pemerintahan yang bersih belum optimal.

Namun apa yang terjadi saat ini? Justru upaya pemberantasan korupsi dilemahkan dengan adanya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Fakta ini kontraproduktif dengan temuan bahwa korupsi menjadi penghambat utama investasi di Indonesia. Fokus tembak omnibus law seharusnya adalah korupsi dan simplifikasi birokrasi, bukan malah ikut menembak buruh. Tembakan ke buruh akan tepat sasaran apabila sistem jaminan sosial Indonesia (pendidikan dan kesehatan) sudah baik.

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1311725/salah-tembak-omnibus-law-cipta-kerja/full&view=oka.