jokowi-prabowo2-jibiMeski berbagai pihak menilai Debat Capres-Cawapres di Balai Sarbini tadi malam (9/6/2014) hampir bukan suatu perdebatan, saya setuju jika dilihat sepenuhnya sebagai sebuah komunikasi politik verbal. Lingkup komunikasi verbal telah banyak komentar pro-kontra, baik tim sukses masing-masing, maupun oleh tim sukses yang “diposisikan seolah-olah” narasumber. Namun menurut saya, telah perdebatan melalui komunikasi non-verbal secara seru dan kasat mata.

Dalam aspek komunikasi non-verbal, saya melihat adanya kesenjangan latar belakang dan pengalaman yang polarisasinya tegas dan jelas. Dan, bagaimana pun hal itu mau tidak mau mempengaruhi preferensi pemilih.

Pertama, Prabowo berlatar belakang karir tentara dan berangkat dari keluarga mapan sebagai putra seorang menteri yang juga begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Sampai saat ini, Prabowo dan keluarga besarnya mapan dan berada dalam jajaran papan atas orang kaya Indonesia. Sementara Jokowi, berasal dari keluarga pas-pasan yang berjuang untuk mendapat pendidikan di UGM lalu menjadi pengusaha, kemudian menjadi politisi sederhana yang merakyat apa adanya sesuai latar belakangnya. Kontras ini tentu saja sangat mempengaruhi paradigma dan treatment masing-masing terhadap persoalan bangsa. Sebab bicara bangsa, adalah bicara rakyat kebanyakan – yang tentu saja bukan masyarakat kaya. Mereka cenderung “Jokowi-like”.

Kedua, Prabowo menyiapkan diri selama 6 tahun penuh sejak tahun 2008 untuk menduduki kursi kepresidenan di tahun 2014 melalui pendirian Partai Gerindra atas dana sendiri secara mandiri, dengan segala daya upaya. Beda halnya dengan Jokowi, ia baru mendapat penugasan PDIP menjadi Capres pada hari Jumat, 14 Maret 2014 lalu. Sembilan tahun lalu Jokowi terpilih jadi Walikota Surakarta, Empat tahun lalu periode kedua, lalu dua tahun lalu menjadi Gubernur DKI. Alhasil Jokowi baru bersiap jadi Capres 2014 baru sekira 54 hari sebelum Debat Capres-Cawapres tadi malam. Meski begitu, ternyata Jokowi tidak under estimate, sebagaimana “harapan” kubu Prabowo-Hatta. Jokowi cukup lugas untuk seseorang yang demikian sibuk dengan “blusukan” dan “reformasi birokrasi” serta “pengembangan sistem dalam pemerintahannya. Sementara kalimat-kalimat Prabowo nyaris tidak berbeda dengan iklan-iklannya di TV sejak 6 tahun lalu yang biasanya makin seru jelang pemilu itu.

Ketiga, Prabowo secara penuh waktu selama 6 tahun mengorganisir membangun Partai Gerindra dan elektabilitas dirinya sebagai calon Presiden 2014, sementara pada periode yang sama, Jokowi bekerja tanpa berpikir mau jadi apa. Bahkan, Jokowi tidak pernah berpikir jadi Presiden sebelum dinominasikan masyarakat awam sekira 2013 lalu setelah menyaksikan kedekatannya dengan rakyat dan tawaran problem solving-nya atas persoalan masyarakat.

Akhirnya, melalui komunikasi verbal dan non-verbal dalam debat tadi malam, perjalanan waktu, maupun dari rekam jejaknya masing-masing Capres, menjadi terlihat dengan jelas, bahwa bila Prabowo kelak terpilih menjadi Presiden tahun 2014 ini, itu “by design”, sedangkan bila Jokowi terpilih jadi Presiden tahun2014 ini, itu kehendak sejarah.

Para penggas pencalonan Jokowi jadi Presiden menjadi pelaku sejarah, dan sejarah itu digenapi seorang ibu yang bijaksana dan negarawati sejati, Megawati Soekarnoputeri. Tampaknya kita tidak perlu melawan kehendak sejarah. Bagi yang belum setuju, bersabarlah menerima kenyataan sejarah. Bagi yang setuju, pastikan melalui bilik suara pada 9 Juli mendatang bahwa sejarah mengehendaki Jokowi Presiden pada tahun 2014

Bandung, 10 Juni 2014

Bernard Simamora