Oleh Syamsuddin Haris

Apa beda Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemilihan Umum jika para komisioner ngotot ke luar negeri untuk supervisi dan sosialisasi pemilihan umum yang esensinya tak lebih dari pelesir? Publik yang agak khawatir dengan kinerja KPU wajar bila mempertanyakannya. Mengapa para komisioner yang berlatar belakang akademis tidak memiliki sensitivitas?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengkhawatirkan tingkat kesuksesan Pemilu 2009 terkait belum terjaringnya sekitar 30 juta pemilih dalam daftar pemilih sementara (DPS). Kekhawatiran itu bersumber dari kinerja KPU yang tak hanya belum maksimal, tetapi juga belum memberi rasa nyaman bagi publik bahwa pemilu mendatang bisa terselenggara secara berhasil. Sebelumnya, publik dicemaskan keputusan prematur KPU, menambah empat partai peserta pemilu sehingga menjadi 38 partai nasional dan 6 partai lokal.

Pekan lalu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menerima permohonan banding Partai Republikku. Bagaimana jika beberapa partai lain yang gagal verifikasi kembali menggugat KPU melalui PTUN? Apakah partai peserta pemilu terus bertambah?

Tidak masuk akal

Studi banding versi DPR atau ”supervisi dan sosialisasi pemilu” versi KPU tentu sah-sah saja sepanjang alasannya masuk akal, substansial, dan penting dilakukan. Data Kompas (4/9) menunjukkan, supervisi dan sosialisasi, kecuali di Kuala Lumpur (Malaysia), jelas tidak diperlukan dan tidak masuk akal karena jumlah pemilih warga Indonesia tidak signifikan. Kecuali, seperti dilakukan DPR dengan nama ”studi banding”, tujuan para komisioner hanya pelesir ke luar negeri dengan kemasan ”supervisi dan sosialisasi pemilu”, atau dalih pelantikan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), apalagi hakikat pelantikan PPLN sekadar seremoni.

Kalaupun argumen para komisioner adalah untuk melindungi hak pilih para WNI di luar negeri, mengapa tidak fokus pada penyelesaian potensi 30 juta pemilih yang tidak atau belum terdata dalam DPS. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menggarisbawahi, KPU adalah pengguna akhir data kependudukan yang disiapkan pemerintah. Tetapi Pasal 8 Ayat 1 huruf e UU yang sama menegaskan, pemutakhiran data pemilih adalah salah satu tugas dan wewenang KPU.

Selain masalah DPS, saat ini juga menumpuk agenda krusial pemilu yang menunggu kerja KPU, mulai dari sosialisasi pemilu di dalam negeri, penetapan desain surat suara, tata cara pemberian suara, penetapan daftar calon tetap, hingga penerbitan berbagai keputusan KPU yang diamanatkan UU Pemilu. Maka, di tengah kerja yang bertumpuk dan kredibilitas yang cenderung merosot, cukup mengherankan jika para komisioner pemilu ngotot hendak ke luar negeri dengan bungkus ”supervisi dan sosialisasi pemilu”.

Jika tidak mau dinilai pelesir dan menghamburkan uang negara, pilihan paling masuk akal bagi KPU adalah dengan menghadirkan 117 wakil PPLN di Jakarta. Kehadiran mereka bisa dimanfaatkan untuk melantik PPLN sekaligus melakukan supervisi dan sosialisasi pemilu. Cara seperti ini bukan hanya lebih efektif, tetapi juga lebih efisien dari segi dana, energi, dan waktu. Selain itu, KPU juga bisa tetap fokus pada penyelesaian tahapan pemilu lain yang selama ini agak kedodoran.

Tantangan KPU

Berbagai kalangan, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pernah mengingatkan KPU agar memiliki prioritas dalam melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Beban kerja yang berat dan waktu penyelenggaraan pemilu yang kian dekat meniscayakan KPU mendahulukan penyelesaian tahapan pemilu di dalam negeri ketimbang ke 14 titik PPLN yang direncanakan untuk dikunjungi.

Keberhasilan Pemilu 1999 dan 2004 harus menjadi tantangan bagi KPU untuk mempertahankannya pada Pemilu 2009. Terlepas dari beberapa kasus yang menimpa anggota komisioner, pujian dunia internasional atas pemilu di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kemampuan KPU periode sebelumnya mengelola prioritas dan menjaga independensi.

Saat ini, salah satu tantangan terberat KPU adalah menyosialisasikan urgensi Pemilu 2009 sebagai momentum perubahan berkelanjutan yang menentukan masa depan demokrasi bangsa. Merosotnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan parlemen, bagaimana pun perlu dicari jalan keluarnya, misalnya melalui sosialisasi dan kampanye yang lebih cerdas dibanding sebelumnya. Amburadulnya data pemilih dan meningkatnya angka golput dalam berbagai pilkada merupakan tantangan bagi KPU agar hal itu tidak terulang dalam pemilu mendatang.

Risiko politik

Melihat kenyataan itu, KPU perlu menjaga integritas dan kredibilitas sebagai penyelenggara pemilu yang memberi rasa nyaman bagi publik bahwa Pemilu 2009 dapat sukses terselenggara. Diakui atau tidak, rasa nyaman publik belum sepenuhnya terbentuk. Maka, tidak ada pilihan lain bagi para komisioner kecuali secara cerdas mengelola prioritas, mengurangi kerja artifisial seperti ke luar negeri, dan mempertahankan independensi.

Sebagai komisi yang proses seleksinya diwarnai kontroversi, seharusnya para komisioner bisa menahan diri serta menunjukkan kinerja dan prestasi. Maka, rencana supervisi dan sosialisasi pemilu di luar negeri, yang tingkat urgensinya rendah, perlu ditinjau kembali. Terlalu besar risiko politik bagi bangsa ini jika Pemilu 2009 gagal dan kita tidak mengingatkan KPU akan soal penting itu.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI