Meskipun akhir Mei sudah semakin dekat, di kalangan lurah dan RT masih berbeda sikap menghadapi rencana penyaluran bantuan tunai langsung. Padahal, sukses tidaknya program BLT tertumpu pada lurah dan RT yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Itu sebabnya, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto meminta dukungan para kepala daerah agar program bantuan langsung tunai (BLT) bisa diterima dan disalurkan kepada yang berhak tanpa menimbulkan masalah baru. Pasalnya, bantuan itu bertujuan untuk membantu rakyat yang terkena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak.
”Tidak pada tempatnya provinsi, kabupaten, kota menolak BLT. Ini tidak boleh terjadi. BLT plus untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan politik 2009. Kenapa dalam kesulitan, kita memolemikkan soal ini,” ujar Mardiyanto di hadapan kepala satuan polisi pamong praja dari 400 kota/kabupaten dan asisten dua pemerintahan dari 33 provinsi, dalam Rangka Ketertiban, Ketenteraman, dan Keamanan Pemilu 2009 di Solo, Jumat (16/5) malam.
Sikap RT-RW
Para pemimpin informal dari ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), penghulu, lurah, dan camat di beberapa wilayah—seperti Tasikmalaya, Jawa Barat, Kota Semarang dan Banjarnegara (Jawa Tengah), serta Kabupaten Agam (Sumatera Barat)—mengindikasikan keberatan mereka jika BLT dilaksanakan tanpa persiapan dan tanpa pembaruan data jumlah rumah tangga miskin calon penerima BLT.
Mereka merasa khawatir jika pemerintah melaksanakan ”program BLT plus” yang besarnya Rp 100.000 per keluarga miskin setiap bulan selama setahun. Kekhawatiran itu muncul karena mereka berpendapat, BLT tidak dilaksanakan dengan persiapan matang dan tidak disertai pembaruan data jumlah rumah tangga miskin calon penerima BLT. Mereka minta pemerintah mendata ulang rumah tangga miskin.
Bahkan, ketua RT dan RW di Kelurahan Panglayungan, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, menolak terlibat dalam distribusi BLT. ”Kami tidak ingin dilibatkan dalam distribusi BLT karena pengalaman pembagian BLT tahun 2005 ketua RT dan RW jadi sasaran kemarahan masyarakat yang tidak dapat BLT,” kata Ketua RW 07, Kelurahan Panglayungan, Maman Basyir.
Sikap senada dikemukakan kalangan camat di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. ”Pendataan sebaiknya dilakukan dari bawah melibatkan kepala dusun/ketua RT, ketua RW, hingga kepala desa,” kata Johanes Vitalis Tote, Camat Detusoko di Ende. Camat Poco Ranaka, Manggarai Timur, Robertus Bonafantura, minta perbaikan data rumah tangga miskin lebih akurat.
Lurah Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah, Agus Priharwanto, dan Lurah Pedurungan Kidul, Kecamatan Pedurungan, Djoko Santoso (keduanya di Kota Semarang) menyatakan menolak program BLT jika disalurkan berdasarkan data rumah tangga miskin tahun 2005.
Lurah Sei Mati, Kecamatan Medan Maimon, Kota Medan, Ahmadin Harahap mengantisipasi gejolak dengan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik daerah dalam updating data rumah tangga miskin.
Mendagri menyayangkan
Mendagri seusai pertemuan menyayangkan banyaknya pernyataan menolak BLT dari sejumlah daerah. Pihaknya tak ingin begitu saja menerapkan sanksi kepada daerah yang menyatakan menolak BLT.
”Biar rakyat yang menilai. Kalau rakyatnya sengsara, lalu mau dibantu, kok dilarang. Kan tidak benar pemimpin seperti itu. Biarkan sanksi moral saja yang dikenakan kepada pemimpin seperti itu. Saya sudah mengeluarkan surat tugas kepada seluruh pemda agar dilaksanakan dengan baik,” katanya.
Menurut Mardiyanto, data yang akan dipakai untuk pemberian BLT adalah data tahun 2005, yang kemudian diperbaiki setiap tahunnya. (EKI/INA/A03/SEM/CHE/ADH/ ART/NDY/A08/HAN)
sumber : kompas