Beranda Artikel Ilmu Hukum Urgensi Pengadilan Adhock Pertanahan di Indonesia

Urgensi Pengadilan Adhock Pertanahan di Indonesia

3

Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.
Kompleksitas masalah pertanahan di Indonesia merupakan salah satu isu yang sangat penting, mengingat tanah memiliki dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang mendalam di negara ini. Ada banyak faktor yang menyebabkan masalah pertanahan menjadi rumit, yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, institusi pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat adat. Berikut adalah uraian lengkap tentang kompleksitas masalah pertanahan di Indonesia:

1. Sistem Hukum Pertanahan yang Beragam
Adanya Dualisme Sistem Hukum:
Indonesia memiliki dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum positif yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan hukum adat yang masih berlaku di berbagai daerah. Konflik sering muncul ketika kedua sistem hukum ini tidak sejalan atau tidak diakui secara penuh oleh salah satu pihak yang berkonflik. Masyarakat adat, misalnya, sering kali memiliki klaim atas tanah berdasarkan hukum adat, tetapi tidak selalu memiliki sertifikat yang diakui oleh pemerintah.
Kurangnya Koordinasi Antar-Regulasi:
Terdapat tumpang tindih peraturan di tingkat pusat dan daerah, serta antara berbagai lembaga seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan kementerian-kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan, yang mengatur kawasan hutan, serta Kementerian ESDM untuk tambang. Tumpang tindih peraturan ini memperburuk masalah tata kelola tanah.

2. Tumpang Tindih Klaim Kepemilikan
Tumpang Tindih Sertifikat:
Salah satu masalah besar dalam pertanahan di Indonesia adalah adanya tumpang tindih sertifikat kepemilikan tanah. Dalam beberapa kasus, tanah yang sama memiliki lebih dari satu sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berbeda atau bahkan oleh lembaga yang sama tetapi dalam waktu berbeda. Hal ini menyebabkan perselisihan berkepanjangan antara individu, perusahaan, atau bahkan dengan negara.
Klaim Masyarakat Adat: Banyak masyarakat adat mengklaim hak atas tanah berdasarkan sejarah dan budaya, tetapi seringkali klaim ini tidak didukung oleh sertifikat formal yang diakui negara. Ini menyebabkan konflik dengan pemerintah atau perusahaan yang memiliki izin formal atas tanah tersebut, terutama dalam konteks eksploitasi sumber daya alam seperti hutan atau tambang.

3. Reformasi Agraria yang Belum Optimal
Ketidakmerataan Distribusi Tanah:
Salah satu tujuan utama reformasi agraria di Indonesia adalah untuk meratakan distribusi kepemilikan tanah, tetapi upaya ini masih belum optimal. Banyak tanah dikuasai oleh segelintir orang atau perusahaan besar, sementara mayoritas petani hanya memiliki lahan kecil. Ketimpangan ini menyebabkan ketegangan sosial dan ekonomi di pedesaan.
Redistribusi Tanah:
Pemerintah telah meluncurkan beberapa program redistribusi tanah, termasuk sertifikasi tanah gratis, tetapi implementasinya sering terhambat oleh masalah administrasi, korupsi, dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.

4. Korupsi dan Mafia Tanah
Praktik Korupsi:
Korupsi seringkali memperparah masalah pertanahan di Indonesia. Oknum-oknum di lembaga pertanahan, pemerintah daerah, dan instansi terkait terkadang terlibat dalam manipulasi sertifikat tanah, penerbitan sertifikat ganda, atau memfasilitasi pengalihan lahan yang tidak sah.
Mafia Tanah:
Mafia tanah adalah sindikat yang menguasai tanah secara ilegal atau mempermainkan status hukum tanah untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Mereka sering bekerja sama dengan oknum pejabat untuk mengamankan tanah yang disengketakan. Kasus mafia tanah ini menjadi isu besar di Indonesia karena seringkali melibatkan lahan-lahan yang berharga atau berlokasi strategis.

5. Konflik Tanah antara Masyarakat dan Perusahaan
Perusahaan Perkebunan dan Pertambangan:
Konflik tanah banyak terjadi antara masyarakat setempat atau adat dengan perusahaan perkebunan, pertambangan, atau kehutanan. Perusahaan sering mendapatkan konsesi dari pemerintah, tetapi tanah tersebut mungkin sudah ditempati atau digunakan oleh masyarakat setempat untuk bertani atau sebagai tempat tinggal. Ini sering memicu konflik yang berkepanjangan dan sulit diselesaikan.
Penolakan Pembebasan Lahan:
Pembebasan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur atau kepentingan industri sering kali menghadapi penolakan dari warga lokal. Warga yang menolak mungkin merasa bahwa ganti rugi yang diberikan tidak adil atau bahwa tanah tersebut memiliki nilai emosional atau budaya yang tinggi, seperti tanah adat.

6. Konversi Lahan
Alih Fungsi Lahan:
Perubahan fungsi lahan, dari lahan pertanian menjadi perumahan, komersial, atau industri, seringkali menjadi sumber masalah. Ketika lahan pertanian yang penting untuk produksi pangan dialihfungsikan tanpa perencanaan yang matang, hal ini dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Selain itu, alih fungsi lahan juga sering kali tidak disertai dengan kompensasi yang adil kepada petani.
Kerusakan Lingkungan:
Pembangunan yang mengabaikan peraturan tata ruang dan lingkungan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, erosi, dan polusi. Konflik sering terjadi ketika masyarakat setempat atau kelompok-kelompok lingkungan berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah yang memberikan izin konversi lahan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

7. Keterbatasan Teknologi dan Administrasi
Kurangnya Pemetaan Tanah yang Akurat:
Sistem pemetaan tanah di Indonesia masih belum sepenuhnya modern dan akurat, sehingga seringkali ada kesalahan dalam pengukuran tanah, batas wilayah, dan pembuatan sertifikat. Ketidakakuratan ini memperburuk konflik tanah karena batas-batas kepemilikan seringkali tidak jelas.
Sistem Informasi yang Lemah:
Kurangnya integrasi sistem informasi pertanahan membuat data tanah tidak selalu up-to-date atau tidak dapat diakses dengan mudah oleh pihak yang berkepentingan. Ini memperlambat proses sertifikasi dan penyelesaian sengketa.

8. Masalah Pengadaan Lahan untuk Proyek Infrastruktur
Pembangunan Infrastruktur: Seiring dengan pesatnya pembangunan infrastruktur, pengadaan lahan menjadi isu yang sangat sensitif. Pemerintah seringkali menghadapi tantangan dalam pembebasan lahan untuk proyek-proyek strategis nasional, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Proses negosiasi yang tidak transparan atau kompensasi yang dirasa tidak adil sering kali memicu protes dari masyarakat yang terdampak.

9. Kepentingan Politik dalam Pengelolaan Tanah
Politik Tanah: Masalah pertanahan juga sering dikaitkan dengan kepentingan politik. Tanah adalah sumber daya yang sangat penting dalam konteks politik lokal dan nasional, dan penguasaan tanah dapat menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk memperkuat kekuasaan atau pengaruhnya. Contohnya, penguasaan tanah oleh elit politik atau pendukung partai politik tertentu sering kali menimbulkan ketegangan dengan masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan.

10. Kondisi Sosial dan Ekonomi
Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan:
Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang pesat menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap tanah, terutama di wilayah perkotaan. Hal ini memicu kenaikan harga tanah dan menimbulkan permasalahan, seperti gentrifikasi dan penggusuran paksa, di mana masyarakat miskin seringkali dipaksa keluar dari tanah yang mereka tinggali karena pembangunan properti komersial atau proyek infrastruktur.
Kemiskinan dan Akses Terbatas:
Banyak petani kecil atau masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses terhadap sertifikasi tanah atau proses legalisasi tanah karena kurangnya pengetahuan atau biaya. Hal ini membuat mereka rentan terhadap kehilangan tanah atau digusur tanpa kompensasi yang layak.

Kesimpulan
Masalah pertanahan di Indonesia sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Solusi untuk masalah ini membutuhkan reformasi yang menyeluruh, termasuk penyederhanaan regulasi, pemberantasan mafia tanah, penyelesaian sengketa secara adil, serta penegakan hukum yang tegas. Tanah merupakan sumber daya yang vital, dan pengelolaannya yang tepat akan sangat mempengaruhi stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi di Indonesia.

(Bernard Simamora, Pimpinan Kantor Hukum BSDR, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Langlang Buana Bandung)


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.