Oleh A Prasetyantoko
Raksasa keuangan, Lehman Brothers Holdings Inc, akhirnya tumbang. Dia tidak sendiri, pelaku besar lainnya juga sempoyongan. Sejumlah perusahaan, mulai dari asuransi terbesar di dunia— American International Group Inc—hingga perusahaan sekuritas besar, seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs, geloyoran. Mereka adalah lokomotif pembawa gerbong panjang. Bisa dibayangkan masifnya dampak negatif yang ditimbulkan.
Kepanikan di bursa saham melanda Wall Street hingga Jakarta. Hampir semua bursa seluruh dunia tertekan, termasuk indeks harga saham gabungan yang merosot drastis hingga level sekitar 1.700. Padahal, saat subprime mortgage meledak akhir tahun 2007, kita sempat ketiban rezeki dengan kenaikan indeks menembus 2.800 poin. Saat itu gejolak diikuti kenaikan harga minyak sehingga harga produk komoditas dan pertambangan melejit.
Kini, kerisauan mulai menghantui pelaku sektor riil. Selain harga komoditas terus melorot, prospek ekspor juga kian kempis. Paling tidak, proyeksi ekspor kita ke AS bisa terpangkas hingga 20 persen. Sektor tekstil dan produk tekstil paling risau dengan perkembangan ini karena AS tetap menjadi pasar utama.
Bagaimana skenario ke depan? Gejolak finansial ini akan segera diikuti gelombang merger dan akuisisi, terutama pada perusahaan keuangan besar. Pertanyaan yang belum terjawab, apakah gejolak ini akan menyeret resesi global (great depression) seperti yang terjadi tahun 1930-an. Atau, hanya akan menjadi riak seperti tahun 1998 (krisis LTCM).
Sumber krisis
Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial AS, mulai dari kebijakan defisit besar Presiden Bush, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, sampai tindakan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers. Namun, apa inti masalahnya?
Ada dua jawaban yang berimplikasi pada perbedaan respons kebijakan. Pertama, gejolak ini semata-mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan fenomena kegagalan (market failure). Maka, solusinya sederhana, yaitu usaha penyelamatan oleh negara. Karena itu, mengapa Ben Bernanke (Ketua The Fed) dan Henry Paulson (Menteri Keuangan) sepakat menyuntik AIG 85 miliar dollar AS. Sebelumnya, dua perusahaan pembiayaan rumah terbesar di AS, Fannie Mae dan Freddie Mac, juga diambil alih pemerintah. Merrill Lynch diakuisisi melalui Bank of America.
Sebenarnya logika yang sama terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat terjadi krisis 1998. Mengapa pemerintah harus turun tangan? Jika dibiarkan, kerusakan akan kian parah. Berbagai perusahaan (bank) dianggap terlalu besar untuk gagal (too big to fail). Sayang, kucuran dana juga berisiko penyimpangan (moral hazard).
Penjelasan kedua, agak kurang populer, akar masalah ada pada sifat alamiah perekonomian itu sendiri. Sumber instabilitas ekonomi (finansial) ada pada dirinya sendiri (endogen), bukan faktor luar (eksogen). Secara teknis, krisis terjadi jika pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Untuk melunasi utangnya, seluruh aset harus dijual (likuidasi). Tipikal ini disebut fenomena ”ekonomi Ponzi” atau ekonomi gelembung (bubble).
Mengingat instabilitas bersifat endogen, maka campur tangan pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan jika telah terjadi masalah (ex-post), tetapi sebelum terjadi (ex-ante). Sayang, intervensi selain mengundang moral hazard, juga dianggap terlalu restriktif terhadap inovasi dan perkembangan.
Gelombang ”merger”
Menyusul tumbangnya banyak perusahaan di sektor finansial, pencaplokan dan penggabungan perusahaan akan marak. Selain telah terjadi pada perusahaan keuangan papan atas, merger dan akuisisi akan berlanjut pada level di bawahnya, perusahaan menengah. Morgan Stanley akan menggandeng Wachovia Corp untuk meningkatkan kinerja. Sementara Bank Lloyods TSB di Inggris akan membeli Halifax Bank of Scotland; JPMorgan Chase & Co dan Bank of America berencana membeli Washington Mutual.
Pengambilalihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, eksistensi perusahaan bisa ”dipermainkan” spekulan. Saat perusahaan mulai goyah, pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas, bahkan sering disebut tempat berkeliarannya para ”pemakan bangkai’ (vulture capitalism).
Fakta itu mengingatkan buku Raghuram Rajan dan Luigi Zingales dari University of Chicago Graduate School of Business, Saving capitalism from the capitalist (2003). Para pembela sistem pasar ini mengajukan dua hal. Pertama, sistem kapitalisme harus diselamatkan dari kepentingan pribadi pemilik modal yang terlalu besar. Kedua, peran pemerintah harus nyata (visible) dalam mengatur sistem kapitalisme.
Perekonomian global memang sedang ditandai membesarnya porsi sektor finansial (pasar modal, obligasi, dan uang) dengan produk derivatif yang amat beragam. Maka, membangun infrastruktur lewat berbagai intervensi harus secara nyata. Jika tidak, kita hanya selalu digoncang berbagai gejolak yang tak akan terhenti. Memang, tak mungkin sistem kapitalisme tanpa krisis.
A Prasetyantoko Menyelesaikan Doktor Ilmu Ekonomi di ENS-Lyon, Perancis; Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta


Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.