Jika ada yang khas dalam pemilu presiden AS, salah satunya yang disebut “electoral college”. Seperti tertuang dalam Konstitusi AS, presiden AS tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui sekelompok warga negara yang disebut “electoral college”.
Meskipun dilangsungkan di seluruh negeri, pemilu AS bukan pemilu nasional, tetapi lebih serangkaian pemilu di level negara bagian yang memutuskan anggota electoral college. Suara mereka disebut electoral votes, yang dibedakan dari suara pemilih (popular votes).
Secara teknis, bisa dibilang pemilih tidak memilih kandidat presiden, tetapi memilih sekelompok orang yang akan memilih kandidat presiden dan wakil presiden saat mereka bertemu. Biasanya, mereka akan bertemu pada Senin pertama setelah Rabu kedua di bulan Desember. Tahun ini, mereka akan bertemu pada 15 Desember untuk memformalkan pemilu.
Electoral college terdiri atas 538 orang dari 50 negara bagian yang komposisinya sesuai jumlah perwakilan negara bagian di Kongres AS (435 anggota DPR AS/House of Representatives dan 100 anggota Senat). Washington DC, daerah ibu kota, yang tidak memiliki perwakilan di Kongres AS, diberi 3 electoral votes, jumlah minimal yang dimiliki negara bagian terkecil.
Cara pemilihan anggota electoral college bermacam-macam di setiap negara bagian. Biasanya mereka dipilih melalui konvensi partai politik atau pemungutan suara di komite pusat partai.
Untuk bisa menjadi presiden, seorang kandidat harus mendapat minimal 270 electoral votes. Jika tidak ada kandidat yang meraih electoral votes minimal, DPR AS akan menentukan siapa yang menjadi presiden sesuai dengan Amandemen Konstitusi AS ke-12.
Setiap negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, memberikan electoral votes dengan sistem pemenang mengambil semua (winner takes all). Artinya, kandidat yang memenangi suara pemilih (popular votes) di negara bagian akan mengambil seluruh electoral votes yang dimiliki negara bagian itu.
Di Maine dan Nebraska, electoral votes didistribusikan sesuai metode distrik kongres. Pemenang di setiap distrik akan mendapatkan satu electoral votes dan pemenang di seluruh negara bagian akan mendapat tambahan dua electoral votes.
Anggota electoral college bebas memilih kandidat mana pun, tetapi biasanya mereka telah berjanji untuk memilih kandidat tertentu. Mereka disarankan untuk memilih sesuai hasil pemilu di negara bagiannya.
Reformasi?
Sangat mungkin seorang kandidat presiden memenangi electoral votes lebih banyak dan menjadi presiden walaupun kalah suara pemilih secara nasional. Itu terjadi tiga kali dalam sejarah AS, yaitu tahun 1876, 1888, dan 2000.
Hal itulah yang memicu kritik terhadap sistem electoral college yang justru disebut tidak demokratis. Namun, untuk mengubah sistem itu terbilang sulit. David Lublin, dosen ilmu pemerintahan di American University, Washington, seperti dikutip CNN mengatakan, reformasi sistem electoral college untuk memilih presiden AS memerlukan upaya luar biasa dan konsensus.
Salah satu alasan, menurut Lublin, adalah sulitnya melakukan amandemen konstitusi AS. Langkah pertama yang diperlukan adalah pengajuan usulan oleh Kongres AS yang disetujui dua pertiga suara, baik di DPR maupun Senat. Sebanyak tiga perempat negara bagian harus meratifikasinya.
“Banyak Demokrat berpikir kekalahan kandidat mereka pada pemilu presiden tahun 2000 menunjukkan reformasi mendesak dilakukan. Akan tetapi, pendukung Republik melihat upaya mengubah sistem sebagai upaya mendiskreditkan kemenangan kandidat mereka,” kata Lublin.
Sejumlah negara bagian juga akan sulit meratifikasi usulan perubahan sistem electoral college. “Banyak orang menyukai fakta bahwa sistem electoral college merefleksikan sistem federal di AS. Mereka memandang upaya untuk menghapuskan sistem itu sebagai serangan atas federalisme dan kekuatan negara bagian,” ujar Lublin.
Pertarungan ketat dengan hasil yang selisihnya sangat tipis antara George W Bush (Republik) dan Al Gore (Demokrat) pada pemilu tahun 2000 di Florida beserta dampaknya memicu seruan reformasi electoral college. Waktu itu, Bush meraih 271 electoral votes dari 30 negara bagian, sedangkan Gore memperoleh 266 electoral votes dari 20 negara bagian plus Washington DC. Namun, Bush memperoleh 50.456.002 suara popular (47,9 persen) dan Gore mendapat 50.999.897 suara popular (48,4 persen).
Ironisnya, menurut Lublin, belum ada mekanisme untuk memecahkan kasus semacam itu. “Pemilu tahun 2000 menunjukkan pentingnya detail legal dan perlunya kesiapan saat pemilihan berakhir dengan selisih sangat tipis. Pemilu nasional, yang berdasarkan suara rakyat, barangkali sudah di depan mata. Namun, diperlukan rencana matang di level federal dan konsensus yang lebih dari yang ada sekarang untuk membuatnya berhasil,” tutur Lublin.
(Fransisca Romana Ninik, kompas)