Bestian Nainggolan
Menjelang pemilu dilakukan, berbagai survei opini publik di Amerika Serikat cenderung menempatkan keunggulan Barack Obama atas John McCain. Survei juga mengungkap pola pengelompokan yang telah terbentuk sejak lama dan bersifat konsisten. Secara teoretis, masihkah McCain berpeluang menang?
Apabila mengkaji dari hasil survei pre-election yang dilakukan tiga institusi survei ternama di AS, sekalipun dilaksanakan dengan metode yang beragam, secara umum memang menguatkan keunggulan Barack Obama dari Partai Demokrat.
Gallup Poll, misalnya, institusi survei dengan 70 tahun pengalaman, melalui survei terakhirnya akhir Oktober 2008, menempatkan dukungan Obama oleh 50 persen pemilih terdaftar, sementara McCain meraih 42 persen. Gambaran semacam itu konsisten selama 20 kali survei sejak Juni 2008 kecuali pada pertengahan September 2008.
CBS News dan New York Times, institusi media yang sejak tahun 1976 berkolaborasi dalam penyelenggaraan survei pemilu, juga mendudukkan keunggulan Obama. Survei terbaru akhir Oktober 2008 menyatakan, Obama didukung 52 persen dan McCain 41 persen.
Survei CBS News dan New York Times dilakukan berkala sejak Februari 2008. Dua survei terakhir menggunakan model panel, yaitu sampel yang sama dalam dua waktu penyelenggaraan survei yang berbeda. Sampel yang terpilih bukan hanya berstatus sebagai pemilih terdaftar, tetapi mereka yang menyatakan positif akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu.
Cara demikian cukup presisi untuk menampilkan dinamika perubahan dari masing-masing responden survei. Dalam hal ini, terlihat pada minggu terakhir posisi Obama semakin menguat.
Menguatnya posisi Obama juga dipaparkan Harris Poll, institusi yang aktif sejak tahun 1963 dalam penyelenggaraan survei. Menggunakan metode online survey dengan pembobotan, survei mereka pada 16-20 Oktober 2008 menampilkan keunggulan Barack Obama enam persen di atas John McCain. Selisih keunggulan ini semakin besar dibandingkan dengan survei-survei mereka sebelumnya.
Bukan prediksi
Ratusan survei yang telah diselenggarakan di AS sepanjang pemilu 2008 ini kerap kali dimaknai sebagai upaya memprediksi kemenangan kandidat yang bertarung.
Keunggulan salah satu kandidat dalam survei dianggap “jaminan” kemenangan dalam pemilu sesungguhnya.
Padahal, setiap institusi survei di AS sepakat bahwa hasil pre-election survey yang mereka publikasikan bukan untuk memprediksi hasil. Survei untuk memahami perilaku para pemilih, termasuk preferensi (tingkat kesukaan) politik pemilih terhadap para kandidat yang bersaing saat survei diselenggarakan.
Dengan demikian, kemungkinan terjadinya kejutan sesungguhnya tetap terbuka.
Hal ini bermakna, bagi John McCain, sekalipun selalu tertinggal, masih punya peluang membalikkan situasi. Patut juga diperhatikan bahwa hasil rangkaian survei yang biasanya bersifat mingguan tersebut juga mengungkapkan pola kecenderungan pilihan dari waktu ke waktu.
Kedua informasi inilah yang sebenarnya paling hendak digambarkan oleh survei. Dalam kaitan ini tergambar, misalnya, betapa sulit McCain menggapai kemenangan terhadap Obama.
Hebatnya, meski survei yang dilakukan CBS News, New York Times, maupun Harris Poll berbeda metode, hasil pemetaan pola-pola preferensi yang didapat bisa mirip. Temuannya, pola dukungan yang terbentuk terhadap masing-masing calon ternyata cukup dekat dengan aspek identitas pemilih. Dalam hal ini, identitas primordial seperti ras, etnisitas, dan agama merupakan faktor yang signifikan memengaruhi dukungan publik Amerika Serikat.
Pola dukungan
Obama, misalnya, sangat menonjol didukung oleh kelompok ras nonkulit putih, termasuk kulit hitam dan hispanik. Dalam survei Gallup, lebih dari 90 persen kalangan kulit hitam dan 60 persen hispanik mendukung Obama. Adapun dukungan kalangan kulit putih non-hispanik berjumlah sekitar 44 persen. Di kubu McCain, basis dukungan datang dari kalangan kulit putih non-hispanik. Hanya 3 persen dari kalangan kulit hitam dan 29 persen kaum hispanik.
Dalam kategori lain, yaitu penganut ritual keagamaan, 66 persen pemilih yang mengaku setiap minggu beribadah mendukung McCain. Cukup kontras dengan pendukung Obama yang 56 persen mengaku jarang atau tak pernah beribadah.
Temuan yang mirip juga tampak dalam pemilahan identitas berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, maupun jenjang pendidikan. Pendukung Obama secara kontras mengelompok pada kalangan muda (18-30 tahun), perempuan, dan berpendidikan tinggi. Tidak kurang dari 60 persen mendukung Obama. Sangat berbeda dengan pendukung McCain yang mengelompok pada kalangan tua dan berpendidikan menengah-bawah.
Pengelompokan dukungan berdasarkan identitas pemilih secara konsisten makin terlihat pada kategori parpol. Simpatisan Demokrat, baik yang terbagi dalam liberal, moderat, maupun konservatif, setia mendukung Obama. Makin liberal simpatisan, semakin kuat dukungan mereka. Demikian juga bagi McCain, dari yang konservatif maupun moderat. Namun, dukungan terkuat datang dari yang konservatif. (Litbang Kompas)