Klaim Kesuksesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang ekonomi selama sembilan tahun kepemimpinannya, yang disampaikan dalam pidato kenegaraan menjelang HUT ke-68 Kemerdekaan RI di Jakarta, Jumat (16/8/2013), kontradiktif dengan kenyataan gampangnya rupiah anjlok hingga di atas 20% dalam sepekan. Krisis ekonomi kembali mengancam kita.
Dalam pidatonya, Presiden mengklaim daya beli masyarakat terus meningkat, kelas menengah tumbuh secara signifikan, stabilitas fiskal dan moneter terjaga, serta fundamental ekonomi nasional semakin kuat. Lalu, rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjok, pemerintah kalang kabut. Maka paket penyelamatan ekonomi pun dilempar untuk meredam gejolak yang mungkin timbul. Dan di televisi pun tim ekonomi SBY lengkap, berdiri gagah berani berkonferensi pers menjelaskan panjang lebar tentang upaya pemerintah dengan empat paket penyelamatan itu. Akankah selamat?
Menurut presiden, Tahun 2004 Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia sebesar 1.177 dollar AS, dan tahun 2012, PDB per kapita sudah mencapai 3.592 dollar AS. Presiden juga yakin PDB per kapita akan mendekati 5.000 dollar AS pada akhir 2014. Selain itu, kata presiden, sejumlah gejolak eksternal, mulai dari lonjakan harga minyak mentah dunia, hingga krisis finansial dan ekonomi global dapat dihadapi secara baik. Ekonomi tumbuh dalam kisaran 5-6 persen, dunia usaha berkembang.
Berbagai kalangan menilai pidato Presiden menyerupai cerita fiksi yang berbau ilmiah dan kebanyakan bumbu, terutama berupa istilah dan teori berbahasa Inggris, serta disertai angka-angka yang seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. Namun, apakah angka-angka itu jauh dari realitas sesungguhnya.
Memang PDB terus meningkat. Tetapi karena PDB itu mengukur produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, maka penikmat PDB yang fantastis itu bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Tumbuh pesatnya PDB disebabkan tingginya pertumbuhan pendapatan rata-rata si kaya meskipun penghasilan si miskin begitu-begitu saja, atau malah makin terpuruk dengan kenaikan BBM 22 Juni 2013 lalu. Selain itu, pada tahun 2004 sekitar 40 persen pendapatan nasional dikuasai 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi, lebih parah sekarang, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 48,6 persen pendapatan nasional dinikmati 20 persen penduduk. Dengan kata lain, pemerintah telah gagal dalam pemerataan akses dan aset pembangunan, dan justru mempertinggi kesenjangan. Terlihat jelas, pemerintah “cukup berhasil” mempertinggi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Si kaya makin kaya, simiskin makin menjerit.
Data BPS menyebutkan, masyarakat berkemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen. Berarti peningkatan daya beli masyarakat yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan.
Klaim bahwa tingkat kemiskinan berhasil diturunkan dari 16,66 persen pada 2004 menjadi 11,37 persen pada Maret 2013 juga berarti si miskin telah diangkat menjadi kelas menengah, yang diklaim tumbuh secara signifikan. Namun, definisi kelas menengah Indonesia adalah mereka yang pengeluarannya $1.25 sehari atau Rp 400.000,- per bulan. Jadi dengan membeli sekilo beras Rp 8.500,- sehari pun masih sudah, belum termasuk biaya tempat tinggal, air, pendidikan, obat-obatan, tetapi telah digolongkan kelas menengah yang kini sekitar 65% penduduk Indonesia.
Jika disebut tingkat pengangguran terbuka turun dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 5,92 persen pada Februari 2013, data BPS menunjukkan bahwa pada 2010 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 567.000 lapangan kerja baru, maka pada 2012 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 178.000 lapangan kerja; sehingga jika disebut terjadi peningkatan daya beli masyarakat, malah yang terjadi adalah sebaliknya.
Mudahnya rupiah dan saham anjlok, tidak lain karena ekonomi Indonesia berdiri di atas fondasi yang rapuh, kita bagaikan merencanakan membangun pencakar langit tetapi fondasinya dilupakan. Pertumbuhan ekonomi kita dikisaran 6% ditopang oleh ekspor bahan mentah seperti minyak kelapa sawit, batubara, karet, barang tambang, dan sejenisnya. Jika pun mengekspor barang jadi, nilai barang ekspor masih dihargai rendah sehingga kurang bisa berkontribusi dalam mengurangi defisit neraca transaksi. Akibat harga ekspor rendah, transaksi berjalan akan menekan terus, tidak makin baik sehingga tidak akan reda tekanannya.
Nyatanya, sektor industri kita masih sangat lemah. Mau apa-apa impor, mau konsumsi saja impor. Untuk mengatasi kenaikan harga kebutuhan pokok saja, pemerintah menempuh ‘policy instant’, impor! Kebijakan impor memang dapat bekerja secara instan untuk menurunkan harga kebutuhan masyarakat, tetapi pemerintah tidak memikirkan jangka panjang dari impor, yaitu kebutuhan valuta asing yang meningkat hingga melemahkan nilai rupiah. Dalam menyelesaikan masalah kenaikan harga, pemerintah lebih bijaksana dengan membuat kebijakan yang pro pada industri lokal seperti penguatan infrastruktur dan tidak bergantung pada impor. Infrastruktur yang baik dapat meningkatkan investasi dan hasil produksi dalam negeri sehingga pasokan kebutuhan pun tercukupi sehingga impor tidak lagi dibutuhkan. Ubi kayu, jagung, kedelai pun harus impor dari luar negeri, sudah sepatutnya diubah dengan membuka areal pertanian baru sehingga ke depan kita tidak lagi bergantung impor. Hal itu juga menjadi faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan yang terus defisit dalam 7 kuartal terakhir. Maklum saja, untuk memproduksi tahu tempe saja berbahan baku impor. Demikian juga, impor barang-barang teknologi seperti handphone, gadget, keendraan juga begitu gencar yang sangat menyedot devisa
Anjloknya rupiah tentu akan berimbas luas, tidak hanya pengusaha tapi juga masyarakat akan menanggung akibatnya. Bukankah, misalnya harga tahu dan tempe akan naik, dan secara keseluruhan daya beli masyarakat akan menurun drasitis, dan akan muncul PHK di beberagai sektor industri. Loyonya rupiah terutama bagi pengusaha dan karyawan perusahaan yang bahan pokoknya masih impor. Apalagi kebutuhan atas komoditas impor kita semakin tinggi, sementara ekspor berjalan lamban.
Terpuruknya rupiah juga tidak terlepas dari ketidakpastian yang berlarut-larut akibat pemerintah terus tergagap-gagap memutuskan penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Kakulasi politik terlalu mendominasi penentuan momen menaikkan harga BBM. Bahkan, meskipun harga BBM sudah dinaikkan, hingga saat ini belum terlalu banyak berperan dalam menekan neraca transaksi berjalan. Hal itu juga memicu spekulan pasar beraksi.
Untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia harus mampu menciptakan industri dengan nilai tambah yang baik. Misalnya barang berteknologi tinggi, perangkat elektronik, alat transportasi, makanan yang unik, atau fashion bermerek. Bila cuma mengekspor batubara yang harganya $100 per ton, kapan Indonesia bisa jadi negara berpendapatan tinggi? Negara yang kaya hanyalah negara yang jualan barang bernilai tambah bukan barang mentah, atau bernilai (value) rendah.
Tingginya tingkat konsumsi di dalam negeri harus diperkuat dengan pasokan produksi di tanah air sehingga tidak tergantung impor. Ini berarti proses hilirisasi harus dijalankan serius dan terpadu. Pertanian harus dibangun, lahan-lahan baru dibuka. Haramkan impor bahan baku makanan, tetapi penuhi dari dalam negeri. Di sisi lain, investasi riil harus dikembangkan karena penanaman modal yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan penempatan uang di pasar saham atau pasar uang. Jangan muluk-muluk dulu membangun industri berorientasi ekspor, sebelum secara meluas memproduksi dan menyediakan substitusi impor.
Dengan penguatan ekonomi secara menyeluruh, goncangan yang menerpa bisa diredam lebih mudah. Kita bersama harus bekerja lebih ekstra keras dan hati-hati, terlebih lagi saat kita akan memasuki tahun politik Pemilu 2014 yang diperkirakan akan memberi pengaruh pada kondisi makro ekonomi Indonesia. Untuk menyukseskan berbagai program itu, dibutuhkan dukungan semua pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, tokoh masyarakat, media dan seterusnya. Dan satu hal yang sangat penting, pejabat pemerintah, di semua tingkatan hendaknya jangan selalu merasa serba lebih tahu. Bukankah “The idiot put in government” yang membuat negara ini “auto pilot” bahkan jalan di tempat?
Dimuat di Surat Kabar Umum Pelita Indonesia (SKU PI) Edisi 1 September 2013
dimuat di http://politik.kompasiana.com/2013/09/14/indonesia-bakal-krisis-ekonomi-lagi-591837.html
(Bernard Simamora)
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.