Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Setelah pelantikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023, Presiden Joko Widodo berencana menerbitkan peraturan presiden (perpres). Hal ini dilakukan untuk melaksanakan beberapa hal yang secara pokok diatur dalam revisi Undang-Undang KPK, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tapi belum ada peraturan pelaksanaannya, sehingga dapat menghambat kinerja KPK, seperti pada operasi tangkap tangan dan penggeledahan.
Sebenarnya membuat aturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah berlaku merupakan hal yang wajar. Polemik mencuat karena Presiden hendak membuat peraturan pelaksana dalam bentuk perpres organisasi dan tata kerja. Masyarakat berprasangka bahwa, dengan perpres itu, Presiden hendak mengintervensi KPK. Prasangka tersebut merupakan asumsi yang prematur dan belum tentu benar.
Apakah tepat membuat peraturan pelaksanaan dari UU KPK dengan perpres? Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Tapi mengapa presiden tidak membuat peraturan pemerintah, melainkan perpres?
Jimly Asshiddiqie (2016) menguraikan bahwa peraturan presiden merupakan bentuk formal dari kebijakan (beleidregels) dan mengikat sebagai instruksi dari presiden kepada jajaran yang diatur melalui perpres tersebut. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menggariskan bahwa pembuatan perpres tidak memerlukan naskah akademik.
Jika dibaca melalui logika tersebut, asumsi bahwa akan ada potensi intervensi KPK oleh presiden memang bisa jadi benar. Persoalan sebenarnya adalah masyarakat mempertanyakan obyektivitas dari perpres yang akan diterbitkan tersebut.
Salah satu obyektivitas pembentukan peraturan perundang-undangan dilihat dari prosedur pembentukannya. Presiden seharusnya menetapkan peraturan pemerintah sebagai aturan organik di bawah undang-undang. Dalam konteks formal, prosedur pembentukan peraturan pemerintah lebih obyektif dibandingkan dengan perpres.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92 Tahun 2012 mensyaratkan adanya tahapan sosialisasi sebelum rancangan peraturan pemerintah disahkan dan berlaku efektif. Tahap sosialisasi ini dimaksudkan untuk transparansi dan memberi ruang partisipasi masyarakat. Mengingat sifat peraturan pemerintah adalah melaksanakan undang-undang, guna memastikan peraturan itu linier dengan undang-undang, masyarakat diberi kesempatan berpartisipasi. Dalam hal ini, pembentukan peraturan pemerintah lebih obyektif dibandingkan dengan perpres, yang tidak memerlukan tahap sosialisasi dan partisipasi masyarakat.
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan peraturan presiden sebagai “Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”.
Maka, jika nanti mengatur pelaksanaan UU KPK dengan peraturan presiden, presiden secara kontekstual memahami perpres sebagaimana dalam frasa “atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Artinya, presiden memahami KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya, jika presiden tidak memposisikan KPK sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintah, tentu presiden menetapkan peraturan pemerintah.
Hingga saat ini Presiden belum mengumumkan draf resmi tentang perpres tersebut. Masih terlalu prematur untuk berkesimpulan bahwa substansi perpres tersebut tidak obyektif atau presiden hendak mengintervensi KPK.
Namun hal yang pasti adalah, jika mengatur pelaksanaan UU KPK dengan perpres, presiden memposisikan KPK sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Di sinilah letak polemik konstitusional yang sesungguhnya. Jika KPK berperan untuk mengawasi dan mewujudkan checks and balances, tidak tepat jika KPK diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Di sinilah logika bahwa penerbitan perpres itu akan melemahkan KPK. Pemahaman yang tepat adalah bukan berasumsi bahwa substansi perpres akan melemahkan, tapi dengan meletakkan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah, maka akan melemahkan peran KPK dalam melaksanakan checks and balances. Demikian juga jika KPK diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, akan rawan terjadi konflik kepentingan antara KPK dan organ negara terkait.
Maka, dalam hal ini, presiden lebih tepat membuat peraturan pemerintah. Guna mewujudkan transparansi dan menghindari polemik di masyarakat, akan lebih baik jika Presiden melibatkan seluruh komponen masyarakat. Logemaan (1987) menyebutkan bahwa pembentukan peraturan perundangan dengan partisipasi masyarakat akan menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pembuat undang-undang, sehingga aturan tersebut akan dapat berlaku efektif karena rendahnya resistansi masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa pengesahan UU KPK baru telah dipandang masyarakat tidak transparan, sehingga secara sosiologis kini masyarakat menginginkan aturan pelaksanaan yang transparan dan melibatkan masyarakat. Artinya, Presiden perlu menetapkan langkah hukum yang tepat, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan aturan pelaksanaan UU KPK.
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1300873/masalah-peraturan-presiden-untuk-menata-kpk/full&view=ok