Selama rezim Soeharto, terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Tragedi 1965-1966, di mana diperkirakan jutaan orang tewas dalam operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghilangkan komunis dan simpatisan mereka. Selama operasi ini, terjadi pembunuhan massal, penyiksaan, pemerkosaan, dan penghilangan paksa yang melibatkan ribuan orang yang diduga terkait dengan komunis.
Selain itu, selama rezim Soeharto, terjadi juga pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku-suku pribumi di Indonesia. Misalnya, dalam kasus Tanjung Priok pada tahun 1984, aparat keamanan menembaki dan membunuh puluhan orang yang diduga terlibat dalam aksi protes. Banyak korban yang tidak bersalah menjadi korban kekerasan dan penindasan oleh aparat keamanan.
Selain itu, kebebasan berpendapat dan berkumpul juga sangat dibatasi selama rezim Soeharto. Pemerintah melakukan sensor dan pembatasan terhadap media massa dan organisasi masyarakat sipil yang dianggap mengancam kestabilan pemerintahan. Banyak aktivis dan jurnalis yang ditangkap, dipenjara, atau bahkan menghilang karena berani mengkritik pemerintah.
Selain pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan, rezim Soeharto juga terlibat dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan dana negara yang sangat besar. Keluarga Soeharto dituduh melakukan korupsi dalam skala besar, dengan dana negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat digunakan untuk kepentingan pribadi mereka.
Secara keseluruhan, rangkaian kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Soeharto selama rezimnya telah meninggalkan luka yang dalam dalam sejarah Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia ini tidak hanya merugikan individu-individu yang menjadi korban, tetapi juga merusak demokrasi dan keadilan di negara ini. Hingga saat ini, upaya untuk mengungkap kebenaran dan memperoleh keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlanjut.
Selain pembungkaman langsung terhadap oposisi politik, pemerintahan Soeharto juga menggunakan berbagai strategi untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai. Salah satu strategi yang digunakan adalah pengendalian media massa. Pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap media cetak dan elektronik, sehingga hanya berita yang disetujui oleh pemerintah yang bisa disiarkan atau diterbitkan. Berita yang mengkritik pemerintah atau menyuarakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah sering kali disensor atau bahkan dihapus sama sekali.
Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menggunakan aparat keamanan untuk memantau dan mengintimidasi oposisi politik. Polisi dan intelijen militer secara aktif mengawasi aktivis politik dan melakukan pengintaian terhadap mereka. Taktik intimidasi seperti penggerebekan, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang sering digunakan untuk menekan dan membungkam suara-suara kritis.
Tidak hanya itu, rezim Soeharto juga menggunakan sistem hukum untuk menindas oposisi politik. Banyak aktivis politik yang ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas atau berdasarkan hukum yang tidak adil. Pengadilan yang tidak independen dan terdapatnya praktik korupsi di dalamnya membuat proses hukum menjadi tidak adil dan tidak transparan. Hal ini membuat para aktivis politik tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Selain pembungkaman langsung, pemerintahan Soeharto juga menggunakan strategi pembungkaman secara ekonomi terhadap oposisi politik. Banyak aktivis politik yang dipecat dari pekerjaan mereka atau dihancurkan reputasinya sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan atau dukungan finansial. Pemerintah juga menggunakan kontrol ekonomi untuk membatasi akses oposisi politik terhadap sumber daya dan pendanaan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan politik.
Selama masa pemerintahan Soeharto, pembungkaman oposisi politik menjadi ciri khas rezim otoriter yang berkuasa. Kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai menjadi terbatas, dan kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan dan kekuasaan rezim. Hal ini menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman yang melumpuhkan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Penganiayaan terhadap Suku-suku Pribumi
Selama masa pemerintahan Soeharto, terjadi penganiayaan terhadap suku-suku pribumi di Indonesia. Suku-suku pribumi seperti Papua, Aceh, dan Timor Timur menjadi sasaran kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Pemerintah melakukan operasi militer yang brutal untuk menindas gerakan separatis di daerah-daerah tersebut, dengan melibatkan penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap penduduk setempat.
Operasi militer di Papua, Aceh, dan Timor Timur juga disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti penghilangan paksa, pemerkosaan, dan pengusiran paksa. Banyak warga sipil yang menjadi korban kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang diperintahkan oleh pemerintah Soeharto.
Dalam konflik Papua, misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap suku-suku pribumi telah mengakibatkan banyak korban jiwa dan menderita. Operasi militer yang dilakukan di Papua, yang dikenal sebagai Operasi Wibawa, telah mengakibatkan ribuan orang Papua tewas, hilang, atau mengalami kekerasan fisik dan seksual. Selain itu, penduduk setempat juga mengalami pengusiran paksa dari tanah mereka, kehilangan hak atas sumber daya alam yang berlimpah di wilayah mereka, dan diskriminasi sistematis dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Di Aceh, operasi militer yang dikenal sebagai Operasi Tinombala juga menyebabkan penderitaan yang serupa bagi suku-suku pribumi. Selama operasi ini, banyak warga sipil Aceh yang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan oleh aparat keamanan. Banyak desa-desa di Aceh yang dihancurkan, dan penduduknya dipaksa mengungsi dari rumah mereka.
Sementara itu, di Timor Timur, operasi militer yang dilakukan oleh Indonesia selama periode pendudukan dari tahun 1975 hingga 1999 juga mengakibatkan penganiayaan yang mengerikan terhadap suku-suku pribumi. Selama masa ini, penduduk Timor Timur mengalami pemerkosaan massal, pembantaian, dan pengusiran paksa dari rumah mereka. Operasi militer ini bertujuan untuk menekan gerakan kemerdekaan Timor Timur dan mempertahankan pendudukan Indonesia atas wilayah tersebut.
Penganiayaan terhadap suku-suku pribumi di Indonesia selama masa pemerintahan Soeharto adalah contoh nyata dari pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan kekejaman yang dilakukan oleh negara terhadap warganya sendiri. Meskipun telah berlalu beberapa dekade sejak masa itu, trauma dan dampak dari penganiayaan ini masih dirasakan oleh suku-suku pribumi di Indonesia.
Upaya untuk mengungkap kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan memastikan perlindungan hak-hak suku-suku pribumi harus terus dilakukan untuk mencegah terulangnya tragedi ini di masa depan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto tidak hanya merugikan masyarakat Indonesia secara ekonomi, tetapi juga mengancam demokrasi dan keadilan sosial. Korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan keluarga Soeharto telah menciptakan sistem yang korup dan tidak adil, di mana kekayaan dan kekuasaan terpusat pada segelintir orang sementara mayoritas rakyat menderita.
Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia telah menyaksikan bagaimana korupsi merusak fondasi negara dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat dan membangun infrastruktur yang dibutuhkan, justru disalahgunakan oleh pejabat korup untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi ini tidak hanya mencakup proyek-proyek pembangunan besar, tetapi juga mencakup praktik korupsi yang terjadi dalam sektor-sektor kecil seperti pendidikan dan kesehatan.
Akibat dari korupsi yang meluas ini, sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, karena sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor ini telah disalahgunakan oleh pejabat korup. Ketimpangan sosial dan ekonomi semakin memperdalam kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, sehingga menyebabkan ketidakstabilan sosial dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.
Selain itu, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga telah merusak demokrasi di Indonesia. Ketika pejabat pemerintah menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka, mereka mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang melindungi hak-hak rakyat dan mendorong partisipasi publik. Korupsi ini menciptakan budaya yang memperkuat kekuasaan oligarki dan menghambat perkembangan demokrasi yang sehat.
Untuk membangun negara yang adil dan berkeadilan, langkah-langkah tegas harus diambil untuk memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Reformasi sistem hukum dan pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan dalam semua aspek pemerintahan dan sektor publik. Hanya dengan mengatasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, Indonesia dapat menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan, di mana kekayaan dan kekuasaan didistribusikan secara merata untuk kesejahteraan semua warga negara.
Berikut ini uraian singkat kejahatan-kejahatan HAM Bapak Mertua Parbowo Subianto:
- Kasus Pulau Buru 1965-1966
Dalam kasus Pulau Buru 1965-1966, alm. Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru sebagai panglima Komando oprasi pemulihan kemanan dan ketertiban yang disingkat Ko Ops Pemulihan Kam/Tib. Melalui keputusan Presiden No. 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto,Komnas HAM 2003).
- Penembakan misterius 1981-1985
Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap residivis, bromocorah, gali, preman yang dikenal sebagai “penembakan misterius” pada tahun 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini, terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, ia mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari shock terapy sebagaimana diakuinya dalam oto biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan tindakan saya (Ramadhan KH, hal 389, 1989)
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals) .
- Tanjung Priok 1984-1987
Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi kebijakan politiknya. Selain itu alm. Soeharto juga selaku panglima tertinggi telah mengeluarkan sikap, pernyataan dan kebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan Asas Tunggal yang dikeluarkan Orde Baru. alam menangani persoalan ini, Soeharto kerap membuat pernyataan dan kebijakan yang “membolehkan” dilakukannya kekerasan dalam mengendalikan respon rakyat atas kebijakan penguasa pada saat itu. diantaranya di depan Rapat Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980, Soeharto sebagai Presiden dan penanggungjawab seluluh kegiatan KOPKAMTIB mewajibakn ABRI mengambil tindakan represif berupa perang (menggunakan senjata) untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap olehnya sebagai golongan ekstrem lainnya yang harus dicegah kegiatannya dan ditumpas sisa-sisanya sama seperti penanganan G 30 S (PKI). Akibat dari kebijakan ini, diantaranya dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
- Talangsari 1984-1987
Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987 mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang orang Terampas Kemerdekaanya, 45 orang mengalami Penyiksaan, dan 229 orang mengalami Penganiayaan (Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM, 2008)
- Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998)
Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998). Pemberlakukan Operasi ini adalah kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003). Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak. Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami perkosaan. Sementara itu Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh, yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen Masyarakat Sipil Aceh, dalam Surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober 2010).
- DOM Papua (1963-2003)
Pemberlakuan, dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa seperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang, Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh, Peristiwa Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati, dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa, Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh, Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada ktun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya, korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk wanita anak-anak dan orang tua, dalam peristiwa Wamena 1977, 14 warga terbunuh, dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
- Peristiwa 27 Juli (1996)
Dalam Peristiwa 27 Juli (1996, alm Soeharto memandang Megawati sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati; peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama peristiwa 27 Juli. Dalam peristiwa ini, 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan Berdasarkan analisa Komnas HAM bahwa peristiwa tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
- Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. di masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa. Komando Pasukan Khusus, (KOPASSUS) menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang (Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa, 2006)
- Trisakti 1998
Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998, masih bersambung dengan dengan latar belakang tuntutan aktivis dan mahasiswa pro demokrasi, untuk mendorong reformasi total dan turunnya Seohatro dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan Soeharto. Tindakan represif penguasa melalui kaki tangan aparatur negara; ABRI dan Polisi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan, Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan bahwa dalam peristiwa ini telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat.
- 13-15 Mei 1998
Peristiwa 13-15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa. Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspon dengan sebuah “Penciptaan dan pembiaran” kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei 1998. dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu, pengusiran paksa yang terjadi diseluruh wilayah DKI Jakarta dan di beberapa daerah di Indonesia oleh kelompok massa dalam jumlah besar, namun tidak dilakukan upaya baik itu pencegahan, pengendalian maupun penghentian oleh aparat keamanan dibawah tanggungjawab alm Soeharto (laporan penyelidikan Komnas HAM).
Jumlah Korban Nyawa Manusia Pelanggaran HAM Soeharto
No | Kasus | Th | Jumlah Korban |
1 | Pembantaian massal 1965 | 1965-1970 | -+1.500.000 |
2 | Penembakkan misterius “Petrus” | 1981-1985 | 500 |
3 | Kasus di Timor Timur | 1974-1999 | 100.000 |
4 | DOM di Aceh | 1976-1989 | 1.958 |
5 | DOM di Papua | 1967-1998 | 906 |
6 | Kasus Dukun Santet Banyuwangi | 1998 | Ratusan |
7 | Kasus Marsinah | 1995 | 1 |
8 | Talangsari Lampung | 1989 | 803 |
9 | Kasus Trisakti | 1998 | 685 |
10 | Mei 1998 | 1998 | 1.308 |
11 | Kasus Semanggi I | 1998 | 127 |
13 | Penculikan Aktivis | 1997-1998 | 23 |
14 | Tanjung Priok | 1984 | 79 |
15 | 27 Juli 1996 | 1996 | 311 |
Korban terdiri dari kategori pelanggaran HAM berat meliputi: meninggal, hilang, luka-luka, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa dan kekerasan seksual. (Data diolah oleh KontraS dari berbagai sumber).
Penutup
Rangkaian kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Soeharto selama masa pemerintahannya merupakan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Pembungkaman oposisi politik, penganiayaan terhadap suku-suku pribumi, dan korupsi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan adalah contoh-contoh kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di bawah rezim Soeharto. Penting bagi kita sebagai masyarakat Indonesia untuk mengingat dan belajar dari masa lalu ini, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Melihat kembali sejarah ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran yang dapat membantu kita membangun masa depan yang lebih baik. Pertama, pentingnya menjaga kebebasan berpendapat dan menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Dalam era Soeharto, oposisi politik dibungkam dan kebebasan berpendapat sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua, perlunya menghormati hak-hak suku-suku pribumi dan masyarakat adat. Selama pemerintahan Soeharto, banyak suku-suku pribumi mengalami penganiayaan dan pemiskinan akibat kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan mereka. Hal ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghambat pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Ketiga, perlu adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Korupsi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh pemerintahan Soeharto. Hal ini merugikan rakyat dan menghambat pembangunan negara. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa pemerintah bekerja secara transparan dan bertanggung jawab kepada rakyat.
Dengan mempelajari dan mengingat sejarah ini, kita dapat berperan aktif dalam mencegah terulangnya kejahatan hak asasi manusia di masa depan. Kita dapat mendukung organisasi dan lembaga yang berjuang untuk melindungi hak asasi manusia, serta memastikan bahwa para pelaku kejahatan hak asasi manusia diadili dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sebagai masyarakat Indonesia yang berkomitmen untuk menghormati hak asasi manusia, kita juga harus berperan dalam membangun budaya yang menghargai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua warga negara Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau latar belakang sosial ekonomi.
Oleh Bernard Simamora, S.Si, S.IP, SH, MH, MM; dari berbagai sumber.
Artikel Menolak Lupa Tentang Rangkaian Kejahatan Hak Asasi Manusia Soeharto pertama kali tampil pada Majalah Hukum.