1korupsidalamparpolOleh Bernard Simamora

Bom berita korupsi politisi meledak lagi! Presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Lutfi Hasan Ishaaq (LHI) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (30/1) malam. KPK menetapkan LHI tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap kebijakan impor daging sapi. Luthfi diduga menerima suap terkait kebijakan impor sapi dari dua direktur PT Indoguna, uang muka suap Rp 1 miliar yang disimpan dalam kantong plastik dan koper disita KPK.

Tidak salah lagi isi laporan riset PPATK pada semester II/2012 dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif, yang menyebutkan sebanyak 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Lebih dari 10% di antaranya adalah ketua komisi. Dari 35 modus yang digunakan, modus paling dominan adalah transaksi tunai yang terdiri dari penarikan tunai sebanyak 15,59% dan setoran tunai sebanyak 12,66%. Kali ini pucuk pimpinan partai berslogan “partai bersih, peduli dan profesional” mendapat giliran jadi pesakitan di KPK.

Partai politik di negeri kita telah menjadi sarang koruptor, terbukti dengan kian banyaknya politikus dari hampir semua parpol dibui gara-gara korupsi. Politikus PDI Perjuangan, Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan menghuni hotel prodeo karena terbukti menerima suap dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom tahun 2004. Politikus Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap Wisma Atlet. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Wa Ode Nurhayati sempat memberi harapan akan membongkar mafia anggaran di DPR malah divonis bersalah dalam kasus suap dana pembangunan infrastruktur daerah. Sang koruptor tercantik, Angelina Sondakh, politikus Partai Demokrat, divonis bersalah karena menerima suap dalam proyek pembangunan Wisma Atlet dan proyek sarana universitas.

Disamping itu, sejumlah anggota DPR lainnya sedang berurusan dengan KPK baik sebagai tersangka maupun terdakwa. Begitu banyaknya politikus yang terbukti atau terindikasi korupsi memunculkan dugaan kuat bahwa korupsi bukan lagi perbuatan perorangan politisi, melainkan korporasi dalam hal ini partai. Korupsi politisi malah kini tidak hanya dilakukan kader partai di level bawah, tapi juga oleh pengurus inti atau pimpinan partai.

Lima area rawan korupsi politisi adalah, pertama, area pengambilan keputusan politik (political corruption), seperti di DPR atau pun DPRD. Kedua, area penegakan hukum. Ketiga, pengadaan barang dan jasa dimana politisi berperan mengintervensi birokrasi dan menjadi beking pengusaha atau kontraktor. Keempat, pelayanan publik, seperti pembuatan KTP, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Kelima, di area pengurusan perizinan, utamanya proses izin pengelolaan sumber daya alam.

Sejarawan Inggris, Lord Acton yang mengatakan, ‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’ (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Ketua partai politik memiliki power politik yang kuat sampai-sampai ketua parpol dapat menentukan atau merekomendasikan kader-kadernya menduduki posisi dan jabatan politik tertentu, merekomendasikan calon kepala daerah, ketua DPD atau DPW, DPC, nomor urut dalam susunan caleg, dan seterusnya.

Maka tidak hanya Luthfi yang Presiden PKS, atau Andi Mallarangeng yang mantan Sekretaris Dewan Pembina DPP Partai Demokrat saja yang terjerat dalam kasus dugaan korupsi. Nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum marak disebut-sebut terlibat kasus Wisma Atlet dan Hambalang meski belum ditetapkan KPK sebagai tersangka. Ketua Umum DPP PKB sekaligus Menakertrans Muhaimin Iskandar diduga terlibat kasus dugaan suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID). Begitupun Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sering disebut-sebut oleh terdakwa M Nazaruddin dalam proyek Wisma Atlit Hambalang. Menteri Agama Suryadharma Ali yang merangkap Ketua Umum PPP dan terindikasi kasus dugaan korupsi pengadaan Al-Qur’an serta urusan haji. Ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa juga diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi hibah kereta api dari Jepang. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono yang menjabat Menko Kesra pun tak luput dari kasus dugaan korupsi yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi terkait kasus dugaan suap PON Riau 2012.

Bertambahnya pimpinan Parpol tersangkut kasus korupsi membuktikan semakin kuat dugaan tahun 2013 ini sebagai tahun politik. Sebab, angka korupsi biasanya naik menjelang pelaksanaan pesta demokrasi. Pihak parpol biasanya berdalih pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan politisi oleh KPK sebagai upaya merontokkan citra parpol menjelang pemilu. Padahal, publik sangat percaya KPK tidak memiliki agenda politik ketika mengungkap korupsi parpol. Agenda KPK hanyalah demi pemberantasan korupsi, parpol tidak perlu dan tidak usah menuding.

Bagaimanapun parpol merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan sebuah negara. Parpol harus bersikap tegas menyikapi kadernya yang tersangkut kasus korupsi, jangan sampai melindunginya tapi harus mendorong penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus setiap kadernya yang didugat terlibat hukum. Partai politik seharusnya menjadi sarana yang dapat mengikat kuat kadernya dari peluang tindak pelanggaran hukum. Karena parpol memiliki mekanisme organisasi yang mapan, dan kepartaian sepantasnya mampu melihat berbagai gejalan yang mungkin menyimpang dari kadernya agar tidak terjerumus lebih jauh pada pelanggaran lainnya. Secara organisasi partai memiliki mekanisme memberikan sanksi, jika memang kader tersebut terbukti bersalah. Sikap partai yang cenderung membela bisa menjadi bumerang, terlebih di tengah kepercayaan publik yang terus merosot pada partai politik.

Parpol kita perlu melakukan pembenahan internal. Parpol, tidak lagi perlu memeras atau mewajibkan kadernya menyetor atau berkewajiban dana sebelum atau sesudah terpilih jadi DPR/DPRD, yang selama ini menjadikan kadernya korup sekaligus memperkaya diri. Parpol tidak perlu melakukan pergerakan mengerahkan kadernya untuk mengumpulkan dana politik menjelang Pemilu 2014.

Penetapan LHI sebagai tersangka bukan hanya seolah menjadi tsunami besar untuk PKS sebagai salah satu partai Islam besar di Indonesia tersebut. Bukan saja soal elektabilitas PKS pada Pemilu 2014. Indikasi korupsi pimpinan berbagai partai tingkat pusat (DPP), maupun tingkat propinsi, kota/kabupaten secara kumulatif berpengaruh pada kualitas Pemilu 2014. Korupsi politisi atapalagi pimpinan partai menjadi tsunami politik secara gradual. Orang bakal tidak menaruh kepercayaan pada parpol, proses demokrasi seperti Pemilu, anti terhadap politikus, dan sebagainya. Orang hanya akan memandang anggota DPR/DPRD sebagai biang kesengsaraan rakyat karena banyak yang korupsi. Alhasil, kepercayaan publik terhadap Pemilu 2014 serta partisipasinya akan menurun, alias apolitis. Akankah kualitas demokrasi kita bakal menurun pula, sementara demokrasi di bangsa lain makin mapan? Semoga tidak!

Bernard Simamora, Pengamat Sosial Politik tinggal di Bandung.