Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi 205 daerah otonomi hasil pemekaran sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hasil evaluasi daerah pemekaran itu akan digunakan untuk menyusun desain otonomi daerah.

Untuk keperluan evaluasi tersebut, Kemdagri menggelar rapat teknis yang diikuti oleh sekretaris daerah, asisten pemda yang membidangi pemerintahan, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Jakarta, Rabu (24/2). Ke-205 daerah itu terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sejak pemekaran, pemerintah belum melakukan evaluasi. Evaluasi itu akan dijadikan bahan untuk menyusun desain otonomi daerah.

Menurut dia, usulan pemekaran daerah tetap diterima, tetapi pembahasannya menunggu desain otonomi daerah selesai. ”Sejak 1999, ada 205 daerah otonom baru. Itu artinya, dalam setiap 15 hari ada satu daerah pemekaran. Hanya melalui evaluasi kita akan mengetahui kemajuan yang dicapai,” katanya.

Dalam rapat teknis, Kemdagri dan Tim Penilai Teknis Evaluasi daerah otonomi hasil pemekaran memberikan petunjuk teknis pengisian kuesioner yang akan dijadikan bahan evaluasi. Tim Penilai adalah tim independen terdiri dari sembilan pakar otonomi yang berasal dari berbagai institusi. Tim diketuai guru besar Fisipol UGM, Agus Dwiyanto.

Bias

Menurut peneliti LIPI, Tri Ratnawati, salah satu anggota Tim Penilai, evaluasi itu memang hanya menggunakan data kuantitatif karena keterbatasan waktu dan dana. Namun, data sekunder yang akan dijadikan bahan evaluasi itu dipastikan banyak biasnya. ”Saya akan berdebat apabila dalam pemeringkatan ada suatu daerah yang PAD tinggi karena sumber daya alam yang kaya, bukan karena kreativitas daerahnya,” katanya.

Di Yogyakarta, pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, mengatakan, desentralisasi perlu diterapkan secara asimetris sesuai dengan kondisi daerah. ”Justru memberikan kesempatan setiap daerah untuk berkembang dan akan meredam keinginan memisahkan diri,” katanya seusai seminar ”Desentralisasi Asimetris untuk Indonesia”, Rabu.

Menurut Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Cornelis Lay, penerapan desentralisasi asimetris menuntut perubahan paradigma dan kemauan pemerintah pusat. (kompas)