Oleh Bernard Simamora
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ternyata menelan banyak sekali dumber daya, baik dari segi waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Hingga saat ini ada 33 Provinsi, sekitar 500 kota dan Kabupaten/Kota di negara kita, atau sebut secara kasar 500 pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
Bilamana Piklada untuk setiap pemerintahan daerah dilakukan setiap lima tahun atau sekira 1815 hari (260 Minggu), maka secara kasar di dalam wilayah Republik Indonesia secara rata-rata setiap 3,5 hari terselenggara sebuah pesta “pilkada” di salah satu provinsi/kota/kabupaten. Atau setiap minggu, ada dua pilkada berlangsung.
Dari segi waktu, sangat banyak waktu produktif tersita dan “terbuang” sia-sia untuk mempersiapkan, kampanye, debat, pendekatan massa, pendekatan organisasi, dan segala tetek bengek dari banyak sekali unsur, mulai dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), Panwaslu, Pengamat, Bakal Calon Kepala Daerah, calon Kepala Daerah, Kepala daerah “incumbent”, dan lain sebagainya. Bagai efek domino, jaringan dan kroni maupun sayap-sayap organisasi, hingga partai, sibuk hiruk pikuk ambil bagian dalam “kue pilkada”. Sibuk Berpolitik, kapan bekerjanya??
Dari segi uang, ratusan miliar uang terbelanjakan secara “sia-sia” untuk membiayai pilkada, kampanye, tim sukses, money politics, sumbang sana-sini, pasang iklan, poster, foto, spanduk, kartu. Masih segar di ingatan, bagaimana beberapa calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada bunuh diri, stroke, sakit jantung, mengkonsumsi narkoba, dan mabok-mabokan.
Sebaliknya, pemenang pilkada kita saksikan berpesta pora dan kemudian bekerja sambil mencari “break event point” biaya pemenangan dirinya melalu korupsi yang berkelanjutan yang tidak ketulungan besarnya, berjemaah, mengembalikan dana sponsor, menciptakan proyek fiktif, melakukan tender fiktif, kegiatan fiktif, dan ratusan modus mengkorup uang rakyat. Para anggota tim sukses, akan menagih pengembalian haknya selama masa jabatan.
Kekuasaan untuk keselamatan kemudian jadi diperlukan. Bagaimana pun, korupsi akan berlangsung di lilingkaran pemenang pilkada untuk pengembalian modal dan mendapat lebih! Tetapi parahnya lagi, kekuasaan untuk periode berikutnya harus juga direbut agar selamat dari jerat hukum atas Korupsi di periode sekarang! Maka, menjadi lingkaran setan :
” Menjadi pemenang pilkada – Harus Korupsi mengembalikan modal – Lalu berupaya lagi memenangkan pilkada agar selamat dari jerat hukum – harus korupsi kembali ” demikian seterusnya.
Bagi yang berminat menjadi kepala daerah perlu memikirkan konsekwensi jangka panjang dari keinginannya. Sepertinya, antara jadi Kepala Daerah dan Bui/Penjara hanya 1 (satu) langkah; Maju atau mundur selangkah, ya masuk bui.
Bilamana pola ini akan masih berlangsung ke depan, kita sedang mengubur negara ini ke liang yang sangat dalam. Piklada akan menjauhkan kesejahteraan dari rakyat yang berhak, menggerogoti hak-hak publik, menjauhkan bangsa dari daya saingnya terhadap bangsa lain.