Oleh Budiarto Shambazy

Banyak pembaca prihatin dengan popularitas Barack Obama yang turun dua pekan terakhir. Ada yang bertanya, apakah itu terjadi karena faktor Sarah Palin atau rakyat Amerika Serikat belum siap orang hitam menjadi presiden?

Pertama, terlalu dini memprediksi hasil pemilihan presiden hanya berdasarkan jajak pendapat yang berubah tiap hari. Per 18 September Obama malah unggul 5 poin dibandingkan John McCain.

Obama unggul karena kampanyenya terfokus pada ekonomi yang makin memprihatinkan karena krisis pasar saham. Padahal, rakyat sudah dibelit krisis cicilan kredit rumah dan meningkatnya jumlah penganggur.

Andai tampil konsisten, seperti kata mantan Presiden Bill Clinton, Obama menang pada 4 November nanti. Itu pun masih tergantung dari hasil tiga debat di antara mereka.

Kedua, Palin memang membakar semangat kubu Republik. Namun, ia belum mampu menarik suara independen, the Reagan Democrats dan pendukung Hillary Clinton.

Perlahan-lahan selubung yang menyelimuti Palin mulai tersibak. Kini muncul reaksi anti- Palin dari berbagai kalangan, termasuk dari sebagian rakyat Alaska yang dipimpinnya sebagai gubernur.

Ketiga, hanya segelintir orang yang menolak kulit hitam menjadi presiden. Sempat muncul kekhawatiran Obama dibunuh kaum fanatik, seperti yang dialami John F Kennedy, Robert Kennedy, atau Martin Luther King.

Namun, segenap bangsa AS berkepentingan menjaga keselamatan Obama. Kematiannya tak ubahnya lonceng kematian nurani dan akal sehat bangsa AS.

Tak penting Obama menang atau kalah karena ia memiliki kapasitas melebihi sosok presiden. Pekan ini saja ia mencetak lagi dua rekor yang membuat geleng kepala.

Pertama, untuk Agustus ia mengumpulkan dana kampanye sebesar 66 juta dollar AS. Ia juga menolak memakai dana kampanye bantuan pemerintah (public funding), sebuah moralitas politik baru.

Kedua, dalam acara di Holywood satu malam saja ia menangguk dana 9 juta dollar AS. Ini rekor baru yang mungkin akan bertahan puluhan tahun ke depan.

Mengapa Obama menjadi fenomena? Sebab, ia pemimpin tipe transformatif, bukan tipe transaksional.

Pemimpin transformatif bukan cuma dibentuk lewat pengalaman, tetapi sejatinya dilahirkan. Mengapa ada pepatah ”lahir untuk memimpin”, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

Pemimpin transformatif dikaruniai karisma. Pemimpin karismatis tecermin dari cahaya wajah, tutur bahasa, bahasa tubuh, kepemimpinan, dan intelektualitasnya.

Semua fitur itu tampil serentak di depan massa. Itulah Bung Karno, Nelson Mandela, Ayatollah Khomeini, dan Obama.

Ya, tanpa massa tak ada pemimpin karismatis. Dan, vice versa, tiap bangsa terinspirasi pemimpin karismatis.

Pemimpin transformatif yang karismatis memodali diri dengan gagasan ideal tentang bangsanya. Ia selalu berada dalam posisi berjuang di depan tanpa pernah meninggalkan yang di belakang.

Sepanjang hayat dikandung badan, ia berjuang bukan untuk diri sendiri. Perjuangan itu ia jalani melalui pengalaman mengelola organisasi, masyarakat, dan bangsa.

Sekali lagi, tak apa Obama kalah. Masalahnya, banyak yang berharap Obama diberikan peranan khusus andai McCain yang terpilih menjadi presiden.

Mengapa perhatian lebih tertuju ke AS daripada ke sini? Sebab, rakyat makin malas mengikuti perkembangan politik domestik yang terserang wabah apatisme.

Salah satu penyebabnya adalah tak ada pemimpin transformatif karena semuanya berkelas transaksional. Capres, cawapres, dan caleg bertransaksi demi kepentingan sesaat yang tujuannya belum tentu untuk rakyat.

Lebih memprihatinkan, tak sedikit yang mencalonkan diri dengan membawa ”bagasi lama” yang penuh berisi kesalahan masa lalu. Juga tak sedikit yang menempuh jalan pintas lewat citra, iklan, atau keartisan.

Selain itu, kombinasi capres- cawapres merujuk pada politik aliran model lama yang juga transaksional. Nasionalis dikawinkan dengan agama, Jawa dengan non-Jawa, purnawirawan dengan sipil, dan seterusnya.

Namun, itulah selera pasar yang mendikte. Fitur citra, penampilan, wajah, sensasi, dan gelar akademisi/kebangsawanan lebih penting daripada substansi.

Program-program urusan nomor dua atau tiga. Tak mengherankan Pemilu/Pilpres 2009 tak lebih dari sekadar happening art yang tak jelas juntrungannya walau serba meriah.

Cobalah Anda amati serius apa saja yang telah dikerjakan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sejak Pemilu/Pilpres 2004? Jujur saja, saya merasa hampa.

Namun, pesimistis boleh saja asal jangan berlama-lama. Pertanyaannya, apa ada jalan tengah?

Saya bukan ingin menghasut, hanya berbagi pendapat dengan Anda. Salah satu sukses Orde Baru ialah terciptanya stabilitas politik yang berfungsi mengawal pembangunan untuk pemerataan.

Stabilitas politik tercapai karena dalam periode 1967-1997 Pak Harto, seperti di AS, menerapkan prinsip the winner takes all. Presiden, wapres, sampai menteri dikuasai Golkar—hanya satu-dua pos menteri yang diberikan kepada PPP atau PDI.

Jadi, mestinya SBY memilih cawapres yang bukan JK. Megawati Soekarnoputri menggandeng Pramono Anung menjadi cawapres dan JK menyiapkan Agung Laksono untuk mendampinginya.

Tak masalah jika satu partai berkuasa 100 persen dalam periode 2009-2014. Jangan cuma siap menang, tetapi juga siap kalau kalah.

Sumber : Kompas