Pemanfaatan survei opini dalam ajang pemilu di Amerika Serikat telah mengakar sedemikian lama. Dalam beberapa catatan, pemilu tahun 1824 menjadi tonggak pertama kalinya survei dilakukan. Saat itu, surat kabar Harrisburg Pennsylvanian, Wilmington, dan Delaware memelopori pengumpulan opini publik terkait preferensi mereka terhadap kandidat presiden yang bersaing.
Metode yang digunakan sangat sederhana dan belum bersifat ilmiah. Siapa pun warga AS dapat menyatakan pilihannya terhadap kandidat presiden Andrew Jackson, John Quincy Adams, Henry Clay, dan William Harris Crawford. Pilihan dinyatakan dengan selembar formulir dan dikirimkan ke harian tadi.
Hasilnya, Andrew Jackson lebih popular dibandingkan dengan ketiga kandidat lainnya. Hasil pemilu memang mengantarkan Andrew Jackson sebagai peraih suara pemilih (popular votes) terbanyak. Namun, hasil tersebut tidak mengantarkannya menjadi presiden oleh karena dalam perhitungan electoral votes menempatkan John Quincy Adams meraih lebih banyak.
Semenjak peristiwa ini, media massa berlomba-lomba dalam penyelenggaraan survei. Dalam perjalanannya, berkali-kali pula survei mengalami ketidakakuratan saat digunakan sebagai alat memprediksi kemenangan.
Tahun 1936 juga menjadi tonggak sejarah penyelenggaraan survei opini publik. Saat itu, majalah Literary Digest menyelenggarakan survei dengan mengandalkan sekitar 2 juta responden. Pada saat yang sama, American Institute of Public Opinion (AIPO) pimpinan George Gallup, Fortune Survey pimpinan Paul T Cherington dan Elmo Roper, serta Crossley Poll pimpinan Archibald M Crossley juga menyurvei opini publik dengan mengandalkan tidak lebih dari 1.500 responden.
Mengejutkan, hasil prediksi berbeda-beda. Literary Digest memprediksikan kemenangan Alfred M Landon, kandidat Republik. Sementara ketiga institusi survei lainnya sepakat memprediksikan kemenangan Franklin D Roosevelt dari Demokrat. Hasil resmi menunjukkan kemenangan Franklin D Roosevelt. Inilah era di mana survei yang dilakukan secara scientifik mampu memprediksi secara akurat sekalipun menggunakan sampel yang jauh lebih kecil.
Keberhasilan memprediksi pada tahun 1936 dengan sendirinya membangkitkan popularitas institusi survei berbasis scientifik. AIPO berubah menjadi Gallup Poll dan merambah ke berbagai negara di Eropa. Survei dalam pemilu semenjak itu lebih dominan menggunakan pendekatan ilmiah, antara lain dengan bantuan statistika.
Pada tahun 1948, pukulan keras dialami institusi survei. Saat itu Presiden Harry Truman, kandidat Demokrat, diprediksikan akan mengalami kekalahan. Sementara penantangnya, Thomas Dewey, kandidat Republik, diprediksikan sebagai pemenang oleh Gallup Poll, Crossley, maupun Roper. Pada kenyataannya, Truman mempertahankan kursi kepresidenan untuk kedua kali.
Pada periode-periode selanjutnya, sekalipun peristiwa tahun 1948 menjadi momok, kepercayaan masyarakat terhadap hasil survei terpulihkan. Institusi survei pun semakin memperbaiki metode dan hasil prediksi.
Sebagai contoh, responden Amerika dikategorikan dalam dua tingkatan, yaitu pemilih terdaftar (registered voters) dan pemilih terdaftar yang positif akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu (likely voters). Perhitungan yang semula hanya mengandalkan pemilih terdaftar kerap kali mengaburkan prediksi mengingat tingkat partisipasi pemilih di AS pada beberapa pemilu terakhir hanya berkisar 50 persen.
Hasil-hasil perbaikan ini berbuah hasil. Terbukti, pascatahun 1948 institusi semacam Gallup Poll berhasil memprediksi kemenangan secara tepat dengan selisih yang sangat kecil dari perhitungan resmi. (Bestian Nainggolan, Dari Berbagai Sumber)
kompas
thanks for info about president as !!! bpa mau caleg yaaa smoga berhasil & sukses slalu
Komentar ditutup.