Tri Winarno, Pengamat Kebijakan Ekonomi
Tahun 2019 ditutup dengan demonstrasi yang meluas, meningkatnya ketimpangan, dan berbagai krisis di beberapa negara. Dunia sedang menuju resesi dan krisis baru bersamaan dengan kondisi lingkungan yang semakin buruk. Hanya pemerintah bersama rakyat-lah yang mampu membalikkan arah kecenderungan yang semakin buruk ini.
Pada 2020, sebanyak 61 negara akan melakukan pemilihan presiden ataupun parlemen. Banyak warga yang lelah oleh kebijakan standar ortodoks konvensional. Mereka menginginkan perubahan dan akan memilih partai serta presiden yang mampu mengimplementasikan perubahan tersebut.
Inilah saatnya untuk membalikkan keadaan, tapi banyak pemimpin baru menjadi demagog berhaluan kanan, yang menyalahkan kebijakan kesejahteraan sosial, migran, dan orang miskin. Mereka malah menuntut kebijakan yang semakin liberal terhadap aliran modal.
Namun faktor terbanyak akan ditentukan dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November nanti, mengingat Amerika masih merupakan negara adidaya. Pilihan rakyat Amerika akan berdampak luas terhadap kondisi dan perkembangan dunia ke depan.
Kebijakan Presiden Amerika Donald Trump telah berdampak besar pada kondisi global saat ini, dengan mengerdilkan lembaga multilateral, melanggar kesepakatan perdagangan, dan membatalkan berbagai prakarsa global sebagai bagian dari agenda “America First”. Walaupun retorika Trump seolah-olah populis, sebagian besar rakyat Amerika tidak mendapat manfaat yang banyak, seperti kebijakan pemangkasan pajak yang hanya menguntungkan kelompok berpunya, pemangkasan akses kesehatan, dan peningkatan belanja militer.
Namun kelompok sayap kanan akan terus memenangi pemilihan umum di berbagai front karena mampu menawarkan kebijakan yang semakin radikal, seperti membangun tembok pemisah, keluar dari keanggotaan Uni Eropa, dan kebijakan anti-orang asing. Hal ini akan menarik pemilih yang selama ini frustrasi oleh perkembangan keadaan.
Jika partai sosial demokrat tidak mampu menawarkan kebijakan yang lebih radikal dan atraktif, kelompok radikal sayap kanan akan semakin moncer dan menjadi “new normal”. Akibatnya, dunia akan semakin timpang, ekonomi semakin suram, dan lingkungan akan semakin terdegradasi.
Bagaimana tren ini bisa terjadi tidak sulit dijelaskan. Kebijakan global yang sarat akan ideologi neoliberalisme selama empat dekade telah menggerus standar hidup di berbagai negara. Berbagai pemerintahan, baik yang kiri maupun kanan, yang mendapat nasihat dari Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan organisasi lain, telah menitikberatkan pada kebijakan yang bertumpu pada sisi pasokan, dengan
peningkatan daya saing bisnis sebagai fokus utama. Ini berarti upah rendah, pasar tenaga kerja “lentur”, pajak perusahaan semakin rendah, dan ketimpangan pendapatan semakin lebar.
Sebaliknya, pemangkasan belanja sosial semakin besar bersamaan dengan penswastaan jasa publik. Ironisnya, sebagian besar dana hasil pemangkasan tersebut digunakan untuk mensubsidi swasta dengan memangkas pajak dan bailout untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, rata-rata penduduk dunia mengalami penurunan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi tetap lambat karena kebijakan jangka pendek itu tidak mengobati penyebab jangka panjang yang lebih struktural, seperti kelebihan kapasitas produksi.
Kalau hal ini tidak berubah, kebijakan penghematan anggaran akan semakin luas sehingga terjadi pemangkasan dana pensiun, upah, program sosial, dan perlindungan tenaga kerja. Pada tahun ini, kebijakan penghematan anggaran akan menjadi “the new normal” yang mempengaruhi 113 negara atau lebih dari 70 persen penduduk dunia serta akan menyulut semakin banyak kerusuhan, protes, dan konflik antara rakyat serta pemerintah.
Sebenarnya, kebijakan penghematan anggaran tidak diperlukan, bahkan di negara miskin sekalipun. Organisasi Buruh Internasional (ILO), Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, serta UNICEF melaporkan bahwa setidaknya terdapat delapan opsi. Pilihan itu antara lain memberangus aliran keuangan ilegal, memperkecil penghindaran pajak, meningkatkan tarif pajak progresif, mengurangi pembayaran utang, atau mengadopsi kerangka kebijakan ekonomi makro yang lebih akomodatif.
Jika pemerintah di dunia dapat keluar dari kebijakan penghematan anggaran, akan semakin banyak negara yang berhasil meningkatkan pendapatan untuk pembangunan nasionalnya dan memacu pertumbuhan ekonomi aktual. Pada akhirnya, hal ini akan menghindarkan bahaya resesi yang diprediksi oleh PBB, J.P. Morgan, dan Moody’s.
Namun, kalaupun dunia dapat menghindari resesi ekonomi pada 2020, kerusakan lingkungan masih akan berlanjut. Dunia telah kehilangan lebih dari 26 juta hektare hutan tiap tahun, suatu area seluas Inggris, terutama hutan tropis, yang berdampak negatif terhadap cuaca dan satwa liar.
Ini adalah tanggung jawab global dan membutuhkan solusi global. Karena itu, multilateralisme harus diperkuat agar kebijakan yang berkelanjutan dapat diimplementasikan.
Masa depan yang lebih baik bagi semua penduduk bumi adalah suatu keniscayaan. Pemerintah dan masyarakat yang sadar dapat menjadikan tahun ini lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Namun, jika mereka hanya terobsesi pada harga saham dan keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan visi jangka panjang, tahun ini akan menjadi tahun muram bagi sebagian besar penduduk bumi.
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1303144/tahun-muram-perekonomian-2020/full&view=ok