Oleh Toto Suparto
Kalau bisa memilih, orang pasti tak mau menjadi miskin. Namun, kemiskinan sering tak bisa dihindari, terutama bagi orang-orang yang dikorbankan akses mereka.
Sebab, hakikat kemiskinan adalah masalah kalah dalam merebut akses terhadap sumber ekonomi. Mereka yang mempunyai kekuatan untuk merebut akses itu lebih mudah terhindar dari kemiskinan. Di negeri ini, kekuatan dimaksud identik dengan kekuasaan.
Dalam kenyataannya, kemiskinan bukan sekadar angka, tetapi menggambarkan hubungan dinamis antara orang-orang dan risiko maupun peluang hidup dalam keseharian. Jika hubungan itu berlangsung timpang, terjadilah kesenjangan.
Dalam satu kalimat bisa dijelaskan, kemiskinan adalah kondisi deprivesi atas sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, maupun pendidikan dasar), sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses atas sumber ekonomi yang dimiliki (Bambang Sudibyo, 1995).
Dalam kaitan itu, saat Vandana Shiva (2005) berbicara soal kemiskinan global, setidaknya ada uraian yang patut dipikirkan, yaitu sebaiknya orang-orang (kaya) tidak mengambil secara berlebihan agar orang lain mendapat kesempatan mendapat akses untuk keluar dari kemiskinan. Shiva ingin menjelaskan soal pemerataan akses justru hal penting dalam mengatasi kemiskinan.
Orang-orang kaya, seperti diklasifikasikan Shiva, suatu saat bisa menjadi sumber ekonomi bagi mereka yang miskin. Seperti Saikhon di Pasuruan, Senin (15/9), adalah sumber ekonomi bagi ribuan orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Hari itu Saikhon membagi kelebihannya kepada tetangga. Merujuk Shiva, Saikhon sedang membuka akses bagi orang miskin.
Ternyata niat baik membuka akses malah berbuah tragedi. Ribuan orang berebut akses itu sehingga mereka berdesak-desakan. Mereka yang kuat menang dan yang lemah kalah. Kekalahan itu ditandai dengan 21 orang tewas dan puluhan lainnya luka. Maka, mereka yang lemah siap- siap jadi korban dalam perebutan akses.
Pemerataan akses
Insiden di Pasuruan itu merupakan tragedi kemiskinan. Para pemimpin di negeri ini seharusnya ”terbelalak” bahwa korban akibat ketimpangan akses masih banyak. Para pemimpin layak introspeksi, benarkah pemerintah ”telah berbuat bagi orang miskin”? Sepintas ”ya”, tetapi jika direnungkan lebih dalam ”tidak”. Sepintas ”ya” karena telah terjadi alokasi dana dari sebelumnya dinikmati orang kaya (misalnya subsidi BBM) kepada orang miskin (berupa uang kompensasi). Setelah direnungkan, akan berubah ”tidak” karena uang subsidi yang belakangan ini dikenal sebagai bantuan langsung tunai (BLT) hanya tambal sulam sesaat. Setelah uang BLT terhenti, orang miskin bisa berbuat apa?
Penyelesaian kemiskinan memang tak bisa diprogram sesaat, tetapi harus permanen. Apa pun bentuk program dimaksud, setidaknya diupayakan untuk pemerataan akses. Dari sisi positif, negeri ini membutuhkan banyak Saikhon. Dari sisi negatif, cara yang dilakukan Saikhon berisiko sehingga perlu dibenahi.
Namun, Saikhon setidaknya telah membangun solidaritas sosial karitatif, yakni kepedulian yang lebih mengacu pada penekanan bantuan berwujud kebendaan. Saikhon telah mempraktikkan benih solidaritas, seperti dikemukakan tokoh solidaritas El Salvador, Jon Sobrino, ”Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.”
Merawat solidaritas
Insiden di Pasuruan menjadi cermin akan beberapa hal. Pertama, para pemimpin harus membuka mata dan telinga atas tragedi kemiskinan di penjuru negeri. Jangan gegabah bahwa angka kemiskinan telah dikurangi.
Kedua, kita ternyata tak pandai merawat solidaritas. Solidaritas perlu dirawat agar terus tumbuh sebab solidaritas menjadi tali pengikat untuk mengutamakan kepentingan yang lebih luas, bukan kepentingan diri sendiri. Solidaritas melipatgandakan kekuatan kolektif untuk bermasyarakat dan berbangsa dengan mengedepankan kemanusiaan. Kita butuh solidaritas agar kemiskinan yang mendera 16 persen dari total penduduk Indonesia masih ditengok oleh mereka yang bernasib lebih baik.
Ketiga, hati-hati, di negeri ini kian terjadi krisis kepercayaan terhadap kelembagaan yang ada. Idealnya pembagian zakat itu bisa dilakukan lewat institusi yang dikemas dalam berbagai nama. Namun, Saikhon lebih percaya untuk membaginya sendiri meski lemah dalam koordinasi. Ini menjadi bahan telaah bagi para pengelola lembaga atau institusi di bidang apa pun, sudahkah mereka menjalankan kelembagaan itu secara benar?
Toto Suparto Peneliti pada Pusat Kajian Agama dan Budaya Yogyakarta
Sumber : Kompas
Eksplorasi konten lain dari Bernard Simamora
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Saya sepakat bahwa pemerintah belum berbuat apa-apa bagi warga miskin negeri ini. Pemerintah hanya melihat warga miskin sekedar angka-angka, dan angka-angka itu yang mau diatur, direngineering dalam pengertian dan kacamata populis dan koridor politis. BLT bukanlah program penanggulangan kemiskinan; malah merupakan program pemiskinan jangka panjang; misalnya 3 bulan pertama mendapat BLT dan mengkonsumsi sesuatu, tetapi 3 bulan berikutnya akan makin miskin karena tetap ingin mengkonsumsi tetapi tidak ada BLT lagi..
Saya sepakat bahwa kemiskinan itu terjadi akibat lemahnya akses pada sumber-sumber ekonomi. Lebih parah, ada upaya-upaya pelemahan akses lewat program-program yang sifatnya pro orang kaya, semisal kredit dari bank, kredit modal kerja, dan kredit lainnya. Orang yang sudah memiliki aset, gampang mendapat kredit; sementara orang yang berupaya keras mendapatkan kesempatan berusaha, dengan integritas yang baik, begitu susahnya mendapat fasilitas kredit.
Komentar ditutup.