Oleh Bernard Simamora
Dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Harvey Moeis, meskipun pasal-pasal terkait pencucian uang telah diterapkan, vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim dianggap ringan oleh banyak pihak. Harvey Moeis divonis 6 tahun dan 6 bulan penjara, denda Rp1 miliar, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar.
Majelis hakim memberikan beberapa pertimbangan yang meringankan hukuman Harvey Moeis, antara lain sikap sopan selama persidangan, adanya tanggungan keluarga (sebegitu hebatnya pertimbangan ini? semua orang juga ada tanggungan), dan fakta bahwa terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
Selain itu, hakim menilai bahwa tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman 12 tahun penjara dianggap terlalu berat jika dibandingkan dengan peran dan kesalahan terdakwa dalam kasus ini. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa peran Harvey Moeis dalam kasus ini tidak sebesar yang dituduhkan, sehingga hukuman yang lebih ringan dianggap lebih proporsional.
Namun, vonis ringan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak logis dan mencederai rasa keadilan publik.
Kritik ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang dianggap tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi dan pencucian uang dalam kasus ini.
Peran Jaksa dan KPK
Menurut penulis, peran Jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memaksimalkan penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sangat penting dalam upaya penuntutan terdakwa kasus korupsi. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum untuk melacak, menyita, dan mengembalikan hasil kejahatan korupsi yang disamarkan melalui tindak pidana pencucian uang. Jaksa memiliki peran strategis dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana asal (predicate crime) berupa korupsi dan menghubungkannya dengan tindak pidana pencucian uang. Dalam proses ini, jaksa bertugas mengumpulkan bukti kuat, melacak aliran dana, dan menunjukkan pola penyamaran aset yang dilakukan oleh terdakwa. Selain itu, jaksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa aset hasil kejahatan yang telah disita dapat dikembalikan kepada negara, sehingga memaksimalkan pemulihan kerugian negara.
Sementara itu, KPK, sebagai lembaga yang diberi mandat khusus untuk memberantas korupsi, memanfaatkan pendekatan “follow the money” untuk melacak aliran dana hasil tindak pidana korupsi. Pendekatan ini memungkinkan KPK untuk mengidentifikasi dan menyita aset-aset yang telah disamarkan atau dipindahkan ke pihak lain. KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terpadu terhadap kasus korupsi dan pencucian uang, yang sering kali dilakukan secara bersamaan untuk memperkuat dakwaan. Dalam banyak kasus, KPK menggunakan UU TPPU untuk memperberat hukuman terhadap pelaku korupsi yang tidak hanya mengambil uang negara, tetapi juga mencoba menyembunyikannya melalui cara-cara ilegal.
Menurut penulus, kolaborasi antara Jaksa dan KPK menjadi kunci dalam penerapan UU TPPU. Melalui pertukaran data, informasi, dan strategi penuntutan, kedua pihak dapat bekerja sama untuk memperkuat dakwaan dan mengoptimalkan pemulihan aset negara. Kerja sama ini juga mencakup pelibatan lembaga internasional untuk melacak aset yang disembunyikan di luar negeri, sebuah tantangan yang sering kali dihadapi dalam kasus pencucian uang lintas negara. Dengan memastikan bahwa unsur-unsur TPPU terbukti di pengadilan, Jaksa dan KPK dapat memberikan efek jera yang lebih besar kepada pelaku korupsi dan memastikan bahwa hasil kejahatan dapat digunakan untuk kepentingan publik.
Meskipun peran keduanya signifikan, penerapan UU TPPU dalam kasus korupsi menghadapi tantangan seperti kompleksitas pola pencucian uang, keterbatasan kerja sama internasional, dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang terlatih dalam menangani kasus yang melibatkan kejahatan keuangan. Namun, dengan pendekatan yang sistematis, inovatif, dan kolaboratif, Jaksa dan KPK dapat terus memaksimalkan penerapan UU TPPU dalam upaya menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih adil dan efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
(Bernard Simamora, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Langlang Buana)