Oleh Sudjito Atmoredjo *)

INDONESIA ialah negara hu­kum, bukan negara ke­kua­sa­an. Hukum senantiasa a priori  dan normatif terhadap segala pemikiran, sikap, dan peri­laku semua warga negara dan penyelenggara negara tanpa perkecualian. Tidak di­per­kenankan atas nama ke­kuasa­an ataupun demi kepen­tingan tertentu, hukum di­tem­patkan di belakang (posteriori) terhadap kehendak seseorang, penguasa, atau pihak-pihak manapun.

Dalam bernegara hukum se­nantiasa diperlukan kon­sis­tensi. Konsistensi adalah ke­taat­an dengan penuh kesadar­an pada hukum dan segala aspek maupun dinamikanya. Kon­sistensi me­rupa­kan prasyarat bagi ter­wujud­nya tujuan ber­negara hu­kum. Bangsa ini akan terlindungi hak-haknya, bila hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan secara konsisten.

Ketika bangsa ini konsisten dengan pernyataan-pernyata­an ideologisnya yang terpatri dalam UUDNRI 1945, kemu­dian kokoh pendiriannya, tegas sikapnya, lurus, dan benar peri­lakunya, maka tak ada ke­khawatiran barang sekecil atom pun akan masa depan bangsa yang gemilang. Akan tetapi, zaman gemilang (enlightement) akan terbelokkan ke zaman ke­gelapan (dark ages) bila konsis­tensi bernegara hukum di­putar­balikkan, direkayasa, di­robohkan pihak-pihak tertentu melalui permainan politik, per­mainan kekuasaan, dan per­mainan kekuatan.

Pada ranah konsistensi inilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharap tegar menjalankan tugas-tugas pem­berantasan korupsi.

Rakyat masih percaya pada KPK perihal konsistensi ini. Kepercayaan itu telah mengakar begitu dalam terkait dengan moralitas, inte­gritas, dan kinerja KPK yang telah teruji selama ini. Kepercayaan rakyat akan terus melekat, bila KPK mampu menjaga dan mem­pertahankan jati dirinya sebagai lembaga negara yang tegar menghadapi berbagai rin­tangan. Namun, kepercayaan rakyat bisa melemah, bahkan berubah menjadi distrust , bila KPK gagal mempertahankan kredibilitasnya.

Rakyat melihat, terkait de­ngan pesta demokrasi bernama pilihan kepala daerah (pilkada), ada calon-calon kepala daerah terindikasi korupsi. Kalau memang sudah ada bukti-bukti cukup untuk meningkatkan statusnya sebagai tersangka, maka tunggu apa lagi, segera diumumkan ke publik. Sikap tegas demikian merupakan contoh konsistensi KPK yang patut diapresiasi. Tak ada yang salah dengan konsistensi itu. KPK telah berada di jalan lurus dan kebenaran. Rakyat butuh keterbukaan informasi tentang kualitas calon-calon kepala daerah.

Rakyat pun melihat, ada pihak-pihak tertentu membela calon kepala daerah bermasa­lah agar tidak diproses hukum atau setidak-tidaknya ditunda pem­rosesannya. Rakyat geleng-geleng kepala atas sikap naif ini. Jauh dari nalar sehat. Secara vulgar terlihat in­kon­sis­ten­si dalam ber­negara hukum. Pada­hal mereka tokoh nasional. Mestinya men­jadi contoh ke­teladanan dalam menaati hukum. Benar-benar aneh, tapi nyata. Benar-benar memalu­kan, tetapi dilakukan. Beginilah kalau rasa malu sudah hilang dari rongga jiwa, maka segala­nya dilakukan atas dasar nafsu.

Membawa diskursus konsis­tensi bernegara hukum pada ranah legal-positivistik dan politis semata sungguh rentan tersesat. Tidak lain karena per­undang-undangan merupakan produk politik. Ketika politik praktis telah sesat ke alam materialisme dan sekularisme, maka perundang-undangan pun dijadikan alat mengeruk harta-benda dan melang­geng­kan kekuasaan. Salah atau benar diukur semata-mata pada teks perundang-undangan. De­ngan dalih “belum berkekuatan hu­kum tetap” atau inkracht,  maka sudah nyata berstatus ter­sang­ka, masih dibolehkan ber­kam­panye. Proses penegakan hu­kum oleh KPK dipandang sebe­lah mata, tanpa dilihat dimensi spiritualnya.

KPK bukan sekadar lembaga penegak hukum, melainkan juga lembaga negara bervisi ideo­logi Pancasila. Terwujud­nya “keadil­an berdasarkan Ke­tuhanan Yang Maha Esa” adalah muara peng­abdian KPK. Wajar, dalam posisi demikian, KPK selalu dimusuhi para koruptor dan kroni-kroni­nya. Tantangan dan rintangan—dalam ber­bagai bentuknya—senantiasa di­hadapkan pada KPK. Penyan­deraan anggaran, pengerdilan wewenang, teror ter­hadap penyidik dan komisio­ner, serta perlawanan oleh lem­baga negara lain merupakan “pil pahit” yang mesti ditelan. Tidak apa. KPK harus terus sehat.

Dukungan rakyat menjadi nutrisi penguat dan pengokoh eksistensi maupun fungsi KPK. Dalam perspektif spitiual-reli­gius, KPK merupakan lembaga negara paling berat ujiannya. Betapa pun ujian itu tidak se­berat yang dipikulkan kepada para nabi, tetapi jajaran KPK hendaknya bertekad menjadi “nabi-nabi kebenaran dan ke­adilan”. Kadar ujian yang di­pikul­kannya selaras dengan kadar konsistensinya dalam meng­emban amanah. Bila konsistensi KPK tinggi, maka ke depan ujian lebih berat dan sekaligus kemuliaan diberikan padanya. Sebaliknya, bila kon­sistensi KPK lemah, maka ke­muliaannya diturunkan selaras dengan kadar konsistensinya. Akankah KPK memilih menjadi lembaga nirkemuliaan, ter­hina? Pasti tidak. Karena itu, kon­sistensi pemberantasan korupsi tak boleh melemah.

Dalam perspektif teori hukum klasik, Thomas Aquinas mengingatkan, mestinya hu­kum lahir dari akal sehat demi kebaikan umum. Akal ke­tuhan­an merupakan puncak ukur­an­nya. Koseptualisasi ini me­nun­juk­kan betapa pentingnya mem­perhatikan tatanan tran­senden­tal di luar hukum sebagai produk politik. Cicero, filsuf Romawi zaman pramodern, mengajar­kan bahwa hakikat hukum ada­lah akal yang benar sesuai de­ngan alam, berlaku universal. Kini di­pertanyakan, apakah pilkada di­selenggara­kan atas dasar konsep-konsep hukum ber­ke­tuhanan, alamiah, universal, atau­kah berdasarkan konsep demokrasi liberal, indi­vidualis, dan sekuler? Diper­tanyakan pula, mengapa pem­belaan ter­hadap calon kepala daerah ber­masalah dilatar­belakangi motif politik belaka tanpa memper­hatikan esensi hukum?

Di negeri ini tidak ada orang kebal hukum. Semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Kita apresiasi konsistensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Keadilan sosial tidak boleh dikorbankan demi pilkada. Wallahu’alam.

*) Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Koran Sindo, Kamis, 22 Maret 2018 – 06:21 WIB