Banyak orang sangat mengandalkan bukti sehingga hanya mau percaya pada hal-hal yang bisa dilihat, dipegang atau diraba. Sikap ini sangat wajar dan manusiawi. Thomas yang sudah mendengar kesaksian teman-temannya bahwa mereka telah melihat Tuhan Yesus yang bangkit, tetap tidak mau percaya dan mengajukan syarat untuk melihat bekas paku pada tangan Yesus dan mencucukkan jarinya terlebih dahulu. Jadi terkadang, kesaksian saja tidak cukup. Perlu ada pengalaman langsung. Syukur bahwa Tuhan Yesus bermurah hati dan sudi memberi pengalaman langsung itu pada Thomas sehingga ia bisa menjadi percaya. Bukti dan pengalaman telah menghantar Thomas pada sikap beriman.
Berbeda dengan orang-orang yang mendengar khotbah Petrus dan kesaksiannya tentang Yesus yang sudah bangkit. Ada 3000 orang yang percaya dan minta dibabtiskan pada hari itu juga. Setelah mereka percaya dan hidup sebagai jemaat Kristen mula-mula, mereka mengalami banyak penderitaan dan hambatan, namun iman dan cinta kasih mereka pada Kristus tetap bertahan. Keyakinan iman itu telah memberikan kekuatan dan ketabahan yang luar biasa di tengah kesulitan hidup mereka.
Dan dalam suratnya kepada jemaat-jemaat tersebut Petrus bersyukur dan memuji sikap iman dan cinta kasih mereka. Oleh sikap percaya pada kesaksian itu mereka memperoleh pengalaman iman. Mereka menghayati penyertaan Tuhan Yesus yang telah bangkit itu sehingga mereka tabah dan tetap bersuka cita. Jadi iman menghantar pada bukti dan pengalaman.
Seorang Bos Mafia mengaku mendapat pelajaran berharga dari ayahnya yang juga Bos Mafia pada Zamannya. Suatu ketika ia disuruh sang ayah memanjat tembok yang tinggi. Setelah berada di tempat yang tinggi itu, sang ayah menyuruh ia melompat ke arah ayahnya dan menyakinkannya bahwa ayahnya akan menyelamatkannya tidak jatuh terpelanting. “Lompatlah, ayah akan menangkapmu!”. Tetapi sang anak susah percaya.
“Saya tidak berani ayah! Saya takut ayah tidak menyelamatkan saya!”.
Sang ayah kembali meyakinkannya, “masa ayah tidak menyelamatkanmu? Lompatlah, ayah disini!”
Alhasil, sang anak melompat dan jatuh terpelanting. Kepala, muka, hidung dan tangannya luka-luka, memar dan bersimbah darah. Ia jatuh pingsan. Untung ia tidak cacat. Sang ayah tenag-tenang saja melihat anaknya terpelanting. Setelah sang anak tersadar, ia protes keras kepada sang ayah.
“Mengapa ayah tidak menangkap saya? Ayah yang menyuruh dan meyakinkan saya untuk merlompat ke arah Bapak, tetapi Bapak tidak menyelamatkan saya!”,
“Anakku, ayah ingin mengajarkan sesuati padamu”, jawa sang ayah kalem tanpa merasa bersalah. “Dalam dunia mafia, jangan pernah percaya siapa pun, bahkan ayahmu sendiri!..”
Pelajaran itu telah mengantarkan anaknya menjadi penerus ayahnya sebagai bos mafia, sebuah profesi yang cenerung mengarah pada kejahatan yang luar biasa dan sumber dari kehancuran dan permusuhan tiada henti.
Tidak adanya rasa saling percaya menjadi bom waktu dalam hubungan interpersonal siapa pun. Dalam rumah tangga dimana suami-istri, anak-orangtua yang tidak ada rasa saling percaya akan memunculkan konflik demi konflik dan bahkan keruntuhan. Hal ini berlaku dalam relasi-relasi sosial yang lain seperti dalam pekerjaan, dalam hubungan kemasyarakatan, antar sesama masyarakat, suku bangsa yang berbeda, agama yang berbeda, pemernitah dengan rakyatnya, parlemen dengan yang diwakilinya, penegak hukum dengan pencari keadilan, pengadilan dengan yang berperkara. Tidak adanya “percaya” akan menjadi bumerang yang akan menghancurkan sendi-sendi relasional interpersonal.
Beriman kepada Kristus berarti percaya dan mengasihiNya dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan kita. Sikap iman ini bukanlah hasil usaha atau prestasi manusia, tetapi karya Roh Kudus dalam hidup kita. Oleh Roh Kudus, kita menghayati perjumpaan dengan Tuhan yang hidup. Jadi bila Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”, hal itu menunjuk pada kenyataan adanya karya Roh Kudus yang sudah memilih dan membuat kita percaya.
Namun itu tidak berarti bahwa kita bisa bersikap pasif dan hanya menunggu karya Roh Kudus. Kesediaan untuk mencari dan mau mendengar kesaksian Firman Tuhan adalah sikap yang berkenan kepada Tuhan.
Peristiwa kebakaran terjadi pada sebuah rumah. Harta dan materi seisi rumah bakal tak terselamatkan. “Tidak ada-apa asal anak-anak dan isteri semua selamat” pikir sang ayah, kepala keluarga pasrah. Ternyata si ayah meneliti lagi, satu orang anaknya masih di lantai atas terkurung di kobaran api. Ia kemudian bisa melihat anaknya tengah menangis memanggil ayahnya, “Tolong ayah, selamatkan aku, aku ngak bisa lihat”. Ditengah hiruk pikuk dan padanya api, sang ayah berusaha mendekati tempat dimana anaknya bisa melompat dan ia langsung bisa menagkapa dan menyelamatkannya dari kobaran api.
“Anakku lompatlah, sekarang, cepat, lompatlah, ayah menangkapmu!”, teriak sang ayah.
“Aku tidak bisa melihatmu ayah, bagaimana aku bisa lompat?”
“ Anakku, lompatlah, sekarang, sekaraaaaaang!!”
Akhirnya si anak melompat tanpa melihat apa-apa dengan keyakinan penuh kepada ayahnya. Dan sang ayah tepat bisa menangkap dan menyelamatkannya.
Kita mungkin tidak bisa melihat Yesus secara langsung memberi pertolongan kepada kita, tetapi dengan bahwa percaya Yesus melihat kita dan tahu yang kita perlukan, pertolongan akan kita peroleh dariNya. Sikap ini juga menjiwai umat beriman untuk menaruh percaya kepada sesamanya di dalam keluarga, di dalam pekerjaan, di dalam hubungan interpersonal dan hubungan bermasyarakat lainnya
Disarikan oleh Bernard Simamora dati khotbah Minggu 30 Maret 2008 oleh Pdt Dr. Albertus Patty
Menarik sekali iman kristen, apa betul begituprakteknya org kristen? aku mau pnya istri kristen
Komentar ditutup.