Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan berlaku mulai Januari 2025 berpotensi menciptakan efek domino yang memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Sebagai pajak konsumsi, PPN dikenakan pada hampir semua barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Kenaikan ini akan langsung memengaruhi harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok yang meskipun beberapa dikecualikan, tetap terkena dampak dari rantai distribusi dan produksi yang memuat unsur-unsur kena pajak. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan harga ini akan semakin menggerus daya beli mereka, membuat mereka semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Situasi ini berpotensi mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan, meningkatkan ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia.

Dampak lanjutan dari kenaikan PPN juga diperkirakan akan memicu inflasi, terutama di sektor konsumsi domestik. Biaya produksi yang meningkat akibat pajak tambahan pada bahan baku dan jasa akan diteruskan kepada konsumen melalui kenaikan harga produk. Inflasi ini tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat, tetapi juga menambah beban sektor usaha kecil dan menengah (UMKM) yang sudah berjuang untuk pulih dari dampak pandemi. Ketika masyarakat mengurangi pengeluaran akibat mahalnya harga barang dan jasa, sektor ritel, manufaktur, dan jasa akan merasakan penurunan permintaan yang signifikan. Hal ini berpotensi menyebabkan stagnasi ekonomi, hilangnya lapangan pekerjaan, dan berkurangnya pendapatan negara secara keseluruhan karena berkurangnya aktivitas ekonomi.

Bagi kelompok menengah ke bawah, dampak kenaikan PPN ini tidak hanya bersifat ekonomis tetapi juga psikologis. Ketika biaya hidup terus meningkat tanpa adanya kenaikan pendapatan yang seimbang, banyak masyarakat akan merasa semakin terbebani. Kepercayaan terhadap pemerintah dapat menurun, terutama jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan upaya perlindungan sosial yang memadai. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik, menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi negara.

Sebagai pajak konsumsi, PPN memiliki karakter regresif, yang artinya beban terbesar akan jatuh pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, karena mereka menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk konsumsi barang dan jasa. Hal ini membuat kenaikan PPN menjadi kebijakan yang cenderung tidak adil bagi kelompok rentan, karena mereka akan mengalami dampak yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Pemerintah perlu menyadari potensi kesengsaraan rakyat akibat kebijakan ini dan mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi seperti penguatan program bantuan sosial, pengecualian barang dan jasa tertentu dari PPN, serta dukungan langsung bagi UMKM untuk menghadapi kenaikan biaya produksi.

Jika tidak diimbangi dengan langkah mitigasi yang efektif, kenaikan PPN menjadi 12% berisiko menciptakan efek domino yang meluas, dari kemiskinan yang meningkat, inflasi yang tidak terkendali, hingga melemahnya pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini harus dievaluasi dengan cermat, dengan memperhitungkan dampaknya secara komprehensif pada masyarakat dan sektor usaha. Tanpa intervensi yang tepat, kenaikan PPN ini dapat mengancam kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi Indonesia.

(Oleh Bernard Simamora, S.Si., S.IP, S.H., M.H., M.M.)