Beranda Artikel Mau Menikah Baca Ini Dulu

Mau Menikah Baca Ini Dulu

372

Pernikahan merupakan prosesi sakral yang memerlukan perlindungan hukum terkait hak dan kewajiban antar pasangan maupun sang anak sebagai hasil dari pernikahan tersebut, sehingga pencatatan perkawinan menjadi penting untuk dilakukan. Uraian berikut ini wajib diketahui calon mempelai beragama Islam.

Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika status hukum suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum, hal itu tidak hanya membahayakan bagi pihak perempuan yang tidak akan mendapatkan pembagian harta bersama, melainkan juga merugikan bagi sang anak.

Seorang anak hasil perkawinan yang tidak tercatat tidak bisa mendapatkan hak warisnya, dan bisa mengalami less identity children atau anak-anak yang bermasalah dengan identitas diri, baik karena tidak memiliki akta kelahiran maupun kartu keluarga (KK).

Anak dengan less identity children dapat termajinalkan dari segi administrasi termasuk administrasi pendidikan. Sebagai contoh, untuk mendaftar SD saja, jelas akan diminta persyaratan akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK). Hal ini merupakan pekerjaan rumah hukum perkawinan negara kita ke depan, untuk memastikan status hukum anak terlindungi akibat perkawinan di bawah tangan atau nikah siri, shingga anak ikut terkena dampak dosa administrasi perbuatan orang tua.

Bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau tidak diketahui keberadaan orang tuanya, misalnya anak-anak panti asuhan, bisa meminta surat keterangan dari dinas sosial, karena dinas sosial-lah yang memiliki data terkait anak-anak tersebut. Untuk pernikahan anak-anak panti asuhan ini, harus menggunakan wali hakim untuk perempuan dan untuk laki-laki tidak memerlukan wali. Namun demikian, mereka tidak memiliki akte kelahiran.

Sementara itu, alam penggunaan Wali hakim ada 2 kondisi. Pertama, karena walinya adhal yakni wali yang sesungguhnya harus menikahkan itu tidak mau. Kedua, wali sesungguhnya memang tidak ada. Dalam kedua kondisi tersebut, maka orang yang akan menikah perlu mendapatkan penetapan pengadilan, baru kemudian KUA bisa menikahkan dan selanjutnya bisa mengeluarkan buku nikah untuk kedua mempelai.

Problematika lain dalam pencatatan pernikahan adalah nikah ‘siri’ yang sudah terlanjur diberlangsungkan dan pada masa-masa berikutnya berkeinginan untuk mencatatkan pernikahan tersebut di KUA. Nikah siri tersebut tidak dapat langsung didaftarkan ke KUA, mengingat perlu dilakukan itsbat nikah terlebih dahulu di Pengadilan Agama. Dalam hal posisi nikah siri tersebut sebagai istri kedua, maka suami harus mengajukan izin poligami terlebih dahulu. Tetapi bilamana istrinya tidak mengizinkan, maka pernikahan tersebut tidak bisa dicatatkan.

Akan tetapi bilamana pasangan suami istri tersebut sudah bercerai maka terhadap pernikahan nikah siri yang telah dilangsungkan tersebut bisa dilakukan itsbat nikah. Nikah siri ini ada 2 jenis, yakni nikah siri ketika dia betul sudah bercerai dan ada juga nikah siri saat ia masih dalam proses bercerai (dalam arti belum resmi bercerai). Untuk nikah siri yang pasangannya masih dalam proses cerai, maka harus diselesaikan dahulu proses cerainya, baru kemudian bisa diurus isbath nikahnya.

Hal lain yang harus diperhatikan mempelai adalah surat rekomendasi nikah yang dibutuhkan ketika pasangan ingin melangsungkan pernikahannya di tempat lain seperti gedung yang berada di daerah berbeda dengan daerah rumah tempat kediamannya. Adanya surat rekomendasi jika pindah nikah dari KUA tempat kediamannya kepada KUA tempat ia akan melangsungkan pernikahan.

Dalam pengurusan pendaftaran pernikahan ada 3 (tiga) ragam surat keterangan seperti N1, N2, N4 dan sebagainya yang bisa didapatkan melalui kelurahan. Kemudian semua surat dan dokumen yang sudah dilengkapi maka dicatatkan ke KUA. Selanjutnya ranah pengadilan, yakni apabila diperlukan adanya isbath (Penetapan nikah) ataupun penetapan wali adhal.

Tahapannya urus dulu surat-surat keterangan untuk menikah dari kelurahannya masing-masing (baik pihak laki-laki dan perempuan), setelah surat-surat masing-masing pihak lengkap barulah didaftarkan di KUA tempat dia akan melangsungkan pernikahan, di situ dicatatkan hari H-nya kapan, jamnya kapan dan sebagainya, barulah nanti didapatkan buku nikah.

Pada dasarnya, syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk suatu perkawinan diatur dalam pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdiri dari:

  1. Persetujuan calon mempelai;
  2. Seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapatkan izin dari orangtua;
  3. Dalam hal salah satu orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka cukup mendapatkan izin dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
  4. Izin dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas diperbolehkan ketika kedua orang tua dalam keadaan meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya;
  5. Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin pernikahan setelah terlebih dahulu mendengar perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam poin 2,3 dan 4;
  6. Ketentuan poin 1-5 berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dokumen yang harus dipersiapkan menjelang perkawinan adalah dokumen kelengkapan diri pada umumnya seperti KTP, fotokopi kartu keluarga, akta kelahiran, ijazah, harus ada juga surat keterangan sehat dari puskesmas. Dokumen-dokumen lainnya yang formulirnya bisa didapatkan dari Kelurahan:

  1. Dokumen Model N1 Surat Keterangan Untuk Nikah, intinya memuat siapa yang akan menikah baik pihak lelaki ataupun perempuan.
  2. Dokumen Model N2 Surat Keterangan Asal Usul, berkaitan dengan asal usul mempelai, dalam artian mengatakan benar bahwa kedua mempelai ini anak kandung dari bapak dan ibu yang bersangkutan.
  3. Dokumen Model N3 Surat Persetujuan Mempelai, merupakan surat yang menyatakan bahwa mereka menikah atas dasar sukarela dan tanpa paksaan dari pihak manapun, sehingga pernikahan kedua mempelai dapat dikatakan an taraadhin (saling ridho) antar keduanya dan tidak pula karena adanya wali mujbir (wali yang memaksa).
  4. Dokumen Model N4 Surat Keterangan Tentang Orang Tua, berisi keterangan tentang orang tua, kata Kama, ini berkaitan dengan KMA No. 298/2003 pasal 8 ayat (1) huruf (a) tentang apakah bapak dan ibu mempelai tersebut betul merupakan bapak/ibu kandung, atau bapak/ibu angkat, kakak atau kakeknya. Ketentuan tersebut, berkaitan dengan masalah wali yang akan menikahkan mempelai sebetulnya.
  5. Dokumen Model N5 Surat Izin Orang Tua (Diberita Acara Nanti),
  6. Dokumen Model N6 Surat Keterangan Kematian Suami/Istri yang di tandatangani oleh kepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang untuk pengisian dokumen N6 bagi janda/duda yang akan menikah.
  7. Dokumen N7 Surat pemberitahuan kehendak nikah

Surat keterangan belum menikah juga diperlukan, yang dalam proses di pengadilan suami mengajukan izin poligami dan sang istri dihadirkan untuk memberikan pernyataan diizinkan atau tidak suaminya untuk poligami. Bisa melalui surat, bisa juga melalui pernyataan secara lisan dalam proses persidangan di Pengadilan Agama.

Pada saat prosesi akad nikah, para pihak juga akan ditanya, apakah mereka memiliki perjanjian pra nikah atau tidak, kalau ada apa isi perjanjian pra nikahnya, kemudian dicatat di berita acara pernikahan sebelum akad nikah dilangsungkan. Konsep perjanjian pra nikah sebetulnya bukan konsep dari fiqih, tapi adopsi dari hukum barat.

Untuk perkawinan campuran antara WNI dan WNA, ada tambahan surat yang harus diurus dari Kedubes yang bersangkutan untuk menikahkan yang bersangkutan dengan orang Indonesia. Bila pencatatannya dilakukan di KUA maka yang WNA harus muslim terlebih dahulu, dan hal tersebut dibuktikan dengan surat keterangan muslimnya. Surat tersebut bisa didapatkan dari lembaga yang berwenang mengeluarkan surat keterangan muslim.

Usia Menikah

Menurut Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, umur minimal seorang perempuan untuk menikah adalah 16 tahun dan untuk laki-laki umur minimal 19 tahun. Calon mempelai yang berumur di bawah batas umur minimal tersebut harus lebih dahulu mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama, baru bisa diproses oleh KUA dan kemudian pernikahannya bisa dicatatkan.

Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 menentukan kewajiban mendapatkan izin dari orang tua berlaku bagi mempelai yang berumur di bawah 21 tahun. Kalau tidak direstui orang tuanya, maka calon mempelai juga harus mengajukan surat penetapan pengadilan tentang penetapan wali adhol. Jelasnya, jika mau menikah usia 21 tahun ke bawah harus izin orang tua, untuk 16 tahun ke bawah (perempuan) dan 17 tahun ke bawah (laki laki) harus mendapat izin dari pengadilan atau namanya itu dispensasi nikah.

Sebaliknya, tidak ada kewajiban bagi mempelai yang berumur 21 tahun ke atas untuk mendapatkan izin dari orang tua berdasarkan aturan negara. Akan tetapi, sekalipun seorang yang berumur 21 tahun ke atas tidak diwajibkan secara hukum formal, hendaknya hal tersebut tetap dilakukan oleh mempelai sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua.

(oleh: Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM)